Press ESC to close

Benarkah Rokok Menurunkan Kualitas Hidup SDM Indonesia?

Manusia Indonesia dikenal sebagai bangsa kreatif dan adaptif dalam menyikapi berbagai persoalan hidup. Terlepas manusia itu merokok ataupun tidak. Tak mengherankan jika bangsa ini melahirkan banyak nama-nama orang hebat yang telah mengispirasi kita untuk tidak mudah menyerah.

Hidup di negeri yang kaya dengan anugerah alamnya memang tidak serta merta membuat sumber daya manusianya menjadi kaya. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia justru membuat manusia Indonesia mampu memaknai hidup dengan segenap kearifan.

Perkara kemiskinan yang menjadi momok bangsa ini telah sering menjadi bahasan di berbagai forum. Namun tidak semua menghasilkan sseuatu yang menjawab problem struktural di balik momok kemiskinan. Malah kerap kali forum-forum semacam itu hanya mencari alasan untuk mendapatkan kambing hitam untuk diperdebatkan.

Rokok telah menjadi produk kontroversial. Kerap dicap sebagai biang kerok segala penyakit. Bahkan sebagian kalangan menyebutkan rokok sebagai penyebab kemiskinan dan merusak kualitas hidup. Meski begitu, negara tetap mengambil keuntungan dari rokok.

Kalangan antirokok yang selama ini memainkan isu kesehatan yang dijadikan dalil untuk menyingkirkan rokok dari kehidupan masyarakat. Melulu berupaya mendiskreditkan perokok sebagai entitas yang perlu direhabilitasi ataupula disembuhkan seturut agenda mereka.

Baca Juga:  Tembakau, Emas Hijau yang Tak Dimuliakan

Pada beberapa waktu lalu melalui agenda Apcat Summit di Bogor, dengan mengacu data BPS, disebutkan produk konsumsi rokok sebagai penyebab dari kemiskinan masyarakat. Bahkan dinyatakan, akibat gangguan kesehatan karena rokok, perokok dianggap telah menambah beban fiskal negara.

Naif betul jika indiktor kemiskinan dan kualitas hidup manusia Indonesia hanya dilihat berdasar konsumsi rokok. Sementara kita tahu, pada kenyataannya masyarakat lebih membutuhkan akses perbaikan hidup yang riil. Misalnya soal pemerataan kesejahteraan hidup, masyarakat lebih butuh akses pendidikan yang murah, ketersediaan pangan yang mencukupi, layanan kesehatan yang tidak diskriminatif. Celakanya pemerintah kita, bahkan kalangan yang mendaku ahli di bidang ini itu, malah bersibuk pada persoalah politik dan regulasi belaka.

Pada cuaca ekonomi yang sedang lesu ini, masyarakat terus ditantang untuk tetap kuat dan lentur dalam mengentaskan persoalan hidup sehari-hari. Di berbagai sektor, para pelaku ekonomi sudah banyak yang mengeluhkan terkait lesunya ekonomi akibat inflasi yang tak terkontrol. Meski begitu, masyarakat masih terus bekerja memberikan sumbangsihnya bagi kelangsungan pendapatan negara.

Jika ada tuduhan bahwa kualitas hidup SDM Indonesia menjadi rusak lantaran rokok, tentu akan banyak perokok yang berhenti memberi andil dalam kerja pembangunan ekonomi. Pabrik-pabrik menjadi sepi, kantor-kantor dan pusat perbelanjaan menjadi kosong, banyak orang yang kehilangan semangat untuk melakukan aktivitas ekonomi. Namun faktanya tidak. Masyarakat tetap terus menjalani kehidupannya seperti biasa. Walaupun mereka tahu, negara belum mampu memberikan kesejahteraan yang merata.

Baca Juga:  Prediksi IHT Pasca Kenaikan Cukai 2022

Artinya, masyarakat tidak butuh rumusan antirokok yang berujung pada lahirnya regulasi yang membuat mereka menjadi terdiskriminasi. Masyarakat hanya butuh konsistensi negara dalam menyediakan akses kesejahteraan bagi mereka.

Ketika harus terus menghadapi berbagai persoalan hidup, rokok kerap menjadi sarana pelepas penat yang mampu memberi semangat bagi perokok. Sarana rekreatif yang membuat mereka lebih mampu bersikap lentur. Jika indikator kualitas hidup manusia Indonesia hanya ditentukan oleh persoalan rokok, barangkali kita tidak akan mengenal Bu Susi Pudjiastuti atau Hanif Dakhiri yang perokok itu menjadi menteri.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah