Wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan menjadi episode selanjutnya dari rangkaian kontroversi di negara ini. Protes dan kritik bermunculan, namun situasi tak berubah. Entah apa yang ada di benak para pejabat pemerintahan saat ini, mereka nampak senang menerima kritik namun tetap mengulangi hal yang sama dan abai pada substansi.
BPJS Kesehatan, sebagaimana yang kita tahu, adalah salah satu program yang paling diharapkan oleh masyarakat luas. Maksudnya, mayoritas warga negara menggantungkan nasib kesehatan diri dan keluarganya pada program ini. Total ada lebih dari 217 juta jiwa menjadi peserta BPJS Kesehatan per Februari 2019. Dengan demikian, kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan berdampak pada 81,8% penduduk Indonesia.
BPJS Kesehatan kerap mengalami defisit anggaran. Berbagai formula diterapkan, termasuk dengan mengalokasikan cukai rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan yang tahun lalu menyentuh angka Rp 10 Milyar. Sialnya, fakta itu tak merubah stigma negatif pada perokok—selaku penyumbang cukai. Rokok dan perokok selalu jadi kambing hitam.
Beberapa waktu lalu, Direktur BPJS Kesehatan, Fahmi Idris menyebut bahwa kenaikan iuran harusnya tak masalah mengingat pengeluaran masyarakat yang lain tak kalah besar. “Bayar parkir motor Rp2 ribu sehari atau beli rokok Rp8 ribu sehari masih bisa, tapi kok menyisihkan Rp5 ribu per hari kok tidak ada kesadaran itu, padahal ini kan penting untuk dirinya,” tegas Fahmi.
Fahmi lupa kalau peserta BPJS tak hanya perokok. Banyak pula di antara mereka yang bahkan tak punya motor untuk diparkir. Lha, kok membela diri dengan argumen yang jauh panggang dari api?
Hal senada juga diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Di hari-hari akhir jabatannya beliau justru memilih menjadi sosok kontroversial. “Siapa yang khawatir (iuran BPJS naik)? Hanya ngomong saja, padahal beli pulsa tiga kali lipat daripada itu, beli rokoknya lebih dari itu (iuran BPJS),” kata Kalla.
Kedua pejabat ini seolah memuntahkan kritik publik ke muka kita semua. Protes publik tentang kenaikan iuran malah ditanggapi dengan naif dan bias. Ini menciderai akal sehat kita. Parahnya, watak ini hampir pasti kita temukan dalam diri pejabat pemerintah. Hampir pasti.
Puan Maharani, ketua DPR yang baru terpilih, beralasan bahwa kenaikan BPJS Kesehatan agar masyarakat menjaga kesehatannya secara preventif. Luar biasa, bukan? Kita dilarang sakit karena iuran kesehatan mahal. Jadi, Puan mengimbau agar masyarakat menghindari penyakit meski harus hidup di tengah kabut asap dan kualitas udara yang buruk.
Sebelumnya, Mendikbud Muhadjir Effendy juga mengeluarkan pernyataan kontroversial menyoal gaji guru honorer yang rendah. Alih-alih menjamin kesejahteraan, menteri negara kini turut menjanjikan surga.
“Saya agak yakin, bahwa orang yang pertama masuk surga itu adalah guru. Kalau sekarang gajinya sedikit, apalagi guru honorer, syukuri dulu nikmati yang ada, nanti masuk surga,” terang Muhadjir.
Menkopolhukan yang tengah dirawat pasca insiden penusukan, Wiranto, juga sempat ramai dibahas setelah mengeluarkan pernyataan yang kurang empati pada korban bencana di Ambon. Beliau menyebut pengungsi yang terlalu besar menjadi beban pemerintah. Wiranto menyebut itu kesalahpahaman hingga kemudian meminta maaf.
Menteri perdagangan juga pernah menyarankan masyarakat agar menanam sendiri untuk menyikapi harga pangan yang melonjak.
Meski relasi negara dan warga negara secara gamblang menempatkan warga negara sebagai pemangku hak dan pemegang kedaulatan, para pejabat di negeri ini tetap setia menjadi sosok kontroversial; senang menerima kritik, namun tetap mengulangi hal yang sama. Demikianlah negara ini berjalan.
Dengan kondisi negara dan watak pemerintahnya yang begini, sepertinya kita masih akan disuguhkan dengan gelombang protes masyarakat yang deras.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022