Search
DBHCHT

Dibalik Dukungan Muhammadiyah Terhadap Kenaikan Cukai

Gerakan antitembakau global tercatat sejak lama ingin memberangus keberadaan industri rokok. Jauh sebelum terjadi di Indonesia, perlakuan diskriminatif terhadap perokok juga sudah berlangsung. Seorang diktator macam Hitler melalui kendaraan politiknya; Nazi, menjadi bagian dari sejarah tersebut.

Dalih yang digunakan tak jauh berbeda dengan yang berlaku sekarang. Dalih kesehatan. Istilah perokok aktif dan pasif diketahui berasal dari era Hitler. Berkembang luas menjadi cara ampuh mendiskriminasi masyarakat dunia berdasar produk konsumsi rokok.

Masuk era 1990-an perang besar memperebutkan nikotin antara industri farmasi dan industri rokok di AS terjadi. Nikotin menjadi rebutan karena punya banyak manfaat medis, namun tidak bisa dipatenkan. Melalui Bloomberg Initiative, dana mengalir ke banyak lembaga di dunia. Di Indonesia, dana itu menyebar ke organisasi non-pemerintah, instansi pemerintah, perguruan tinggi, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pengurus Pusat Muhammadiyah adalah yang pertama disoroti pada 2010 lantaran menerima dana dari Bloomberg hingga Rp 3,6 miliar demi mengeluarkan fatwa haram merokok. Segenap agenda Bloomberg dalam memerangi industri pertembakauan di Indonesia, terutama kretek, dilancarkan dengan demikian masif melalui berbagai agenda seminar dan kampanye kesehatan. Secara berkala ormas Muhammadiyah dan lembaga turunannya mendapatkan sokongan dana berdasar program yang diagendakan donaturnya.

Baca Juga:  Belajar Toleransi Dari Natal

Belakangan hari pasca wacana kenaikan tarif cukai yang besarannya sangat tidak masuk akal itu disampaikan pemerintah. Dimana kita ketahui perihal kenaikan cukai membawa ancaman nyata terhadap sektor hulu dan industri kretek. Pada gilirannya sektor padat karya yang telah turut membantu negara dalam hal devisa serta serapan tenaga kerja ini terancam mati. Pada kurun lima tahun kebelakang saja sudah ratusan pabrik rokok kecil yang tutup.

Belum lama ini melalui Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, tanpa memikirkan dampak buruk pada sektor strategis tersebut. Ia Menyatakan dukungannya atas wacana kenaikan cukai, bahkan malah mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan PMK tentang cukai rokok. Sekali lagi dalih yang digunakan adalah isu kesehatan, dengan asumsi kenaikan cukai rokok akan menurunkan persentase perokok di Indonesia.

Sebagai catatan, insutri kretek adalah satu dari sekian sektor strategis yang menyerap hasil pertaniaan tembakau dan cengkeh yang tidak sedikit. Banyak lini ekonomi masyarakat tani yang terbantukan dari serapan tersebut. Termasuk halnya dalam membantu menopang program JKN melalui BPJS yang kerap mengalami defisit.

Kenaikan tarif cukai yang mengakibatkan harga rokok menjadi mahal bukan saja mengusik kelangsungan pasar. Dalam konteks ini konsumen menjadi harus lebih adaptif. Satu hal yang tak terelakkan tentunya ancaman terhadap sektor industri kretek, jelas akan mengakibatkan penurunan produksi serta serapan tembakau dan cengkeh dari petani.

Baca Juga:  Tembakau dan Masyarakat yang Kian Rumit

Artinya, PP Muhammadiyah telah menihilkan persoalan strategis bangsa ini. Karena jelas dampaknya akan mengganggu perekonomian masyarakat. Dengan kasar kata, ormas Muhammadiyah hanya mementingkan gol agenda asing,  menghamba pada kepentingan penyuntik dana bagi lembaga mereka. Yakni Bloomberg Initiative.

Bagi kretekus di Indonesia, tidaklah mengherankan jika PP Muhammadiyah menyatakan dukungannya atas kenaikan tarif cukai untuk tahun 2020. Karena target yang mereka capai bukan hal yang bersungguh untuk kemaslahatan bangsa. Semata hanya untuk memenuhi target amunisi lembaganya sendiri. Jadi, sangatlah omong kosong kalau yang dibualkan melulu demi kesehatan masyarakat. Sementara terhadap sektor strategis menyangkut penghidupan masyarakat banyak, jusrtru didorong untuk mati dengan mendukung kenaikan cukai rokok. Hih!