Cukai rokok terhitung per 1 Januari 2020 menurut sebuah pemberitaan resmi dinyatakan naik. Dengan demikian, pemerintah secara nyata sudah memuluskan jalan kematian bagi sejumlah pabrik rokok kecil yang masih tersisa. Angka kenaikannya tak bergeser jauh dari yang diwacanakan sebelumnya. Dari semula 23% menjadi 21,55%.
Beleid tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Keterangan ini sempat muncul melalui situs berita kontan.co.id. Jika memang benar adanya, tetap saja angka ini sama sekali tak menyelamatkan keberadaan para pelaku industri, termasuk nasib para pekerja di sektor padat karya industri kretek.
Sejak waktu lalu kita memang sudah memprediksi, pula menyisipkan harapan, bahwa pemerintah mau lebih berhitung pada risiko yang ditimbulkan. Ketika harga rokok menjadi mahal dan pada gilirannya akan dibarengi dengan naiknya harga-harga kebutuhan lain. Itu artinya akan menimbulkan gejolak yang cukup serius di masyarakat.
Is oke pemerintah menaikkan tarif cukai sebagai upaya menambah penerimaan pendapatan. Karena memang industri rokok, terutama kretek, merupakan sektor strategis yang sangat diharapkan untuk menunjang program pembangunan dan pembelanjaan negara. Namun kiranya pemerintah harus pula memperhitung secara rasional, bahwa masih banyak masyarakat yang bergantung hidup dari sektor kretek. Angka kenaikan di atas 20% itu adalah angka yang sangat konyol alias tidak realistis, jika memang pemerintah secara linear ingin mengejar target penerimaan dari cukai.
Faktanya, kenaikan cukai pada tahun 2015 yang berada di atas 13% saja target penerimaan cukai tidak tercapai, disusul dengan bertumbangannya ratusan pabrik rokok. Ditinjau dari sisi ini, pemerintah seperti menolak untuk bijak dalam menghadapi kondisi ekonomi yang tengah lesu. Satu hal lagi, di tengah ancaman resesi global yang semakin mendekat, pemerintah bukannya memberi solusi bagi sumber-sumber ekonomi riil rakyatnya, kok ya malah menambah kesengsaraan.
Perlu diketahui lagi, ada kondisi pasar yang juga bakal merugikan negara akibat mahalnya harga rokok, yakni semakin merajalelanya peredaran rokok non cukai, atau yang biasa disebut rokok ilegal di pasaran. Fakta semacam itu jelas bukan suatu kondisi yang menguntungkan. Asumsi bahwa angka perokok akan semakin menurun apabila cukai dinaikkan tak lain hanyalah mitos mainan antirokok.
Bukan mustahil perebutan pasar antar industri rokok kelas dinosaurus akan semakin mendapatkan peluangnya. Terutama bagi perusahaan MNC rokok yang sejak jauh hari bermain lewat bisnis produk rokok alternatif.
Bisa ditengarai, dengan mahalnya harga rokok tidak sedikit konsumen rokok yang beralih atas pertimbangan ekonomis ke produk alternatif. Ini artinya, isu kesehatan yang selama ini menjadi dalil lain atas kenaikan cukai hanya omong kosong saja.
Selanjutnya yang mencemaskan dari itu adalah serapan tembakau dari petani jelas akan mengalami penurunan drastis. Dengan naiknya biaya produksi rokok, keuntungan pabrikan semakin kecil, lantaran besaran cukai yang harus dibayar tak lagi realistis. Tentu saja petani turut menanggung deritanya, panen tembakau dan cengkeh tahun ini terbukti tak semua terserap pabrik.
Untuk itu, iya saya hanya sekadar menyarankan seturut pula yang digaungkan teman-teman di Komunitas Kretek, agar para perokok jika ingin beralih atas alasan ekonomis, ya beralih ke tingwe saja. Itu lebih bijak. Selain hitung-hitung senam jari lewat melinting, setidaknya kita dapat mengurangi beban petani yang tembakaunya tak terbeli semua oleh pabrik.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024