Search

Kampanye Kesehatan dengan Mensterilkan Rumah Perokok adalah Pelecehan Hak Privasi

Kampanye kesehatan yang kerap mendiskreditkan perokok masih saja terjadi. Kampanye ini bahkan menyasar ke lingkup privasi rumah. Bicara soal rumah yang bersih serta rumah yang sehat, jelas adalah idaman banyak orang. Baik perokok maupun bukan perokok, setiap orang niscaya punya cara yang dilakukan untuk mencipta lingkungan rumah yang bersih, rumah yang nyaman bagi penghuni maupun bagi yang mengunjunginya.

Seturut hal itu, beberapa waktu lalu di Surabaya tepatnya di daerah Tambak Arum. Ada satu agenda yang digiatkan di lingkungan tersebut. Agenda kesehatan yang menyasar para perokok. Di dalam kegiatannya, masyarakat setempat yang perokok diminta untuk mematikan rokok dan membuang puntung di satu wadah khusus yang sudah disiapkan di luar rumah. Disertai pula dengan arahan untuk mencuci tangan sehabis merokok sebelum masuk ke dalam rumah.

Tentu saja itu bukan suatu hal yang baru. Kegiatan yang mengajak masyarakat untuk senantiasa menjaga kebersihan rumah. Tentu itu hal positif, jika memang untuk mengedukasi perokok agar puntung rokok tidak sembarangan dibuang, agar perokok dapat berlaku santun menghargai sesama penghuni rumah, karena belum tentu semua orang di rumah suka dengan asap rokok. Di satu hal ini kita perokok santun tentu sepakat.

Baca Juga:  Dana Hibah Bloomberg, Modal Intervensi Antirokok

Namun yang disayangkan, agenda tersebut lebih menekankan pada tujuan mengurangi angka perokok. Seolah-olah edukatif padahal ya diskriminatif. Kok ya hanya perkara rokok dan perokok saja yang disasar untuk diedukasi sampai ke wilayah privasi; rumah. Artinya, kegiatan ini secara tak langsung sudah mendiskreditkan perokok. Para perokok seakan-akan makhluk yang harus disterilkan dari ‘bahaya’ yang dibawanya, dari jejak aktivitas merokoknya.

Kampanye kesehatan semacam itu secara sublim menggiring masyarakat menjadi takut terhadap perokok. Boleh jadi, di kemudian hari bakal ada kampanye kesehatan yang menyasar pakaian perokok pula. Baju yang dipakai setelah merokok harus dibuang karena dianggap menyimpan keringat beracun, tidak bakal tuntas meski dicuci sekian kali. Halah, kebangetan kalau sudah begitu.

Kalau mau mendisiplinkan perokok, iya tidak harus sebegitunya kali. Ini kan mirip-mirip yang pernah berlaku di beberapa daerah lainnya, yang kerap mengusung jargon Kampung Bebas Asap Rokok atau Desa Tanpa Rokok, serta istilah lainnya.

Intinya sih sama, ingin mengubah kebiasaan masyarakat untuk tidak lagi merokok. Sebab rokok bagi mereka—para pegiat yang mengusung kepentingan antitembakau global—haruslah dihapus dari keseharian masyarakat. Seringkali oleh kalangan antirokok, rokok dicap sebagai biang kerok dari segala masalah kesehatan. Di sini ini persoalannya.

Baca Juga:  Man City Juara, Pep Guardiola Merokok

Biar bagaimanapun rokok adalah pilihan dewasa, orang dewasa berhak menentukan apa yang pantas untuk dikonsumsinya. Ngeheknya, pada agenda semacam itu, selalu saja dalil kesehatan menjadi cara untuk mendiskreditkan para perokok.

Implikasi dari agenda semacam itu jelas telah melecehkan kewarasan publik, apalagi ini menyangkut wilayah privasi. Ada hak privasi yang dilumpuhkan hanya karena perkara rokok. Padahal setiap pemilik rumah juga punya disiplin yang berlaku untuk mencipta kebersihan dan kenyamanan rumahnya sendiri. Terlepas dari persoalan merokok ataupun tidak.

Perokok santun misalnya, pada kesehariannya punya cara yang biasa dilakukan untuk urusan merokok di rumah, perokok santun umumnya menjadikan teras sebagai area merokok. Kenapa di teras? Karena sirkulasi udaranya cukup mendukung, berhubungan langsung dengan udara terbuka. Itikadnya jelas, demi menghargai hak sesama penghuni rumah, pula dilandasi kesadaran bahwa rokok juga memiliki faktor risiko. Bukan melulu soal isu kesehatan ujung-ujungnya mendiskreditkan perokok.