Press ESC to close

Simplifikasi Cukai, Cara Perusahaan Asing Matikan Pesaing di Indonesia

Isu simplifikasi cukai pada awalnya hadir setelah kehadiran perusahaan rokok asing yang mulai banyak yang mengakuisisi saham pabrik-pabrik di Indonesia. Pada konteks industri pertembakauan, beberapa merek lokal diambilalih oleh perusahaan asing semacam British Tobacco atau Phillip Morris. Satu hal yang tidak bisa dimunafikan memang, walau bagaimana pun persaingan dagang tetap harus berjalan secara sehat.

Tentu nama-nama besar di atas yang kemudian memiliki pabrikan besar dalam industri tembakau bersaing dengan pabrikan-pabrikan kecil. Tentu logika kita mengatakan bahwa pabrikan kecil yang kemudian bergerak dengan modal tak besar harus bersaing bak perang badar melawan pabrikan besar tersebut, hasilnya di pasaran pun bisa kita ketahui. Kooptasi pasar terjadi walau demikian pabrikan kecil tak kehilangan konsumen karena tetap mempertahankan cinta serta rasa.

Pabrikan-pabrikan kecil inilah sejattinya yang menggerakkan roda perokonomian nasional di sektor industri tembakau. Terlebih spirit untuk tetap mempertahankan Kretek sebagai warisan budaya bangsa masih mereka pegang teguh. Seringkali bukan hanya berhadapan dengan industri besar, pabrikan kecil harus juga bersaing dengan rokok-rokok ilegal yang harganya bahkan lebih murah dari yang mereka jual.

Ini kemudian yang menjadi miris, persoalan yang sudah mereka terima kemudian diperparah dengan kebijakan simplifikasi cukai yang akan dimulai pada 2020 nanti. Apa itu simplifikasi cukai? Tentu kalian bisa baca lebih gamblang pada berbagai tulisan yang sudah diunggah pada website ini. Sederhananya, sesuai namanya yang simplifikasi, maka ada penyederhanaan tarif cukai alias menyamaratakan seluruh harga tarif cukai di berbagai jenis dan layer rokok yang diproduksi oleh seluruh pabrik.

Baca Juga:  Iklan Rokok Buat Kecanduan, Kegilaan Lain Antirokok

Namanya memang simplifikasi tapi justru menghadirkan berbagai problem yang membuat kebijakan itu tak lagi dipandang simpel. Secara logika, bagaimana mungkin produk rokok yang dengan harganya sifatnya premium harus disamakan cukainya dengan rokok kelas bawah yang banyak diproduksi oleh pabrikan-pabrikan kecil. Sudah progresif kenaikan harga cukainya sebesar 23 persen, ditambah lagi dengan penyamataan jenis harga cukainya, apa tidak menggap-menggap pabrikan kecil?

Tentu ini hanya akan menguntungkan pabrikan besar saja. Dari adanya simplifikasi cukai, maka pembeli berbondong-bondong membeli rokok yang premium, ketimbang kelas bawah. Lagi-lagi soal urusan harga, ketimbang beli yang level bawah yang harganya mahal, mending beli rokok premium. Di sini pabrikan kecil akan kelimpungan dalam penyesuaian harga. Ini bukan bicara soal rokok murah, bagaimana pun cukai rokok terkadang memang harus naik mengiringi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun, tarif progresif dan simplifikasi akan menghancurkan sisi lain ekonomi di Indonesia yaitu pelaku usaha mikro, yang memang jadi pondasi majunya ekonomi sebuah bangsa.

Kita harus kembali melihat data yang cukup membuat miris dalam perindustrian tembakau. Berdasar data Badan Kebijakan Fiskal menunjukkan, bahwa sejak 2011 yang semula terdapat 1664 perusahaan, namun pada tahun 2017 menurun menjadi 487 perusahaan saja. Sebuah penurunan yang tentu bukan kabar yang menguntungkan. Ketika kebijakan simplifikasi cukai ini kemudian berakibat hancurnya industri kecil, maka konsumen akan merugi akibat tidak variatifnya pasar yang juga akhir dimonopoli oleh pabrikan besar.

Baca Juga:  Kenaikan Tarif Cukai Rokok SKT Sangat Berisiko

Sebagai konsumen kita juga berperan besar dalam mata rantai ekonomi di industri pertembakauan. Jikas saja kemudian simplifkasi ini diterapkan, maka bukan tidak mungkin perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki oleh asing kemudian bergerak menjadi kartel harga, mafia distribusi tembakau, atau yang lebih parah mematikan Kretek sebagai warisan budaya bangsa. Apalagi, kabar buruknya adalah pabrikan besar yang dikuasai oleh industri asing memiliki semangat untuk memonopoli rasa, agar kita lupa nikmat dan anugerah kretek, agar kita berpindah konsumsi kepada rokok putih, sesuatu yang justru bukan hasil peradaban dan budaya bangsa kita sendiri. Menyedihkan bukan?

Indi Hikami

Indi Hikami

TInggal di pinggiran Jakarta