Press ESC to close

Bukannya Diedukasi, Pelajar Merokok di Kolase Gonzaga Disanksi Tidak Naik Kelas,

Institusi pendidikan di Indonesia belakangan ini kembali diguncang dengan isu pelajar merokok. Salah satu murid di SMA Kolase Gonzaga dengan inisial BB dihukum tidak naik kelas. Pihak sekolah menyebut alasannya adalah siswa tersebut melakukan tindakan indisipliner yaitu merokok, makan kuaci di kelas, dan salah satu nilai dalam mata pelajarannya yang tidak memenuhi syarat untuk lulus. Kasus ini kian ramai karena orang tua korban tak terima dan menuntut melalui sekolah melalui jalur hukum.

Fenomena ini sejatinya bukan kasus baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sebagai seorang perokok, saya melihat bahwa seseorang yang berusia di bawah 17 tahun memang masih belum layak untuk mengkonsumsi rokok. Harus adanya bimbingan orang tua dan juga tak boleh dilakukan di lingkungan sekolah. Namun, pendapat saya bisa berbeda soal hukuman yang diberikan. Jika sang anak baru melakukannya pertama kali, hukuman tidak naik kelas saya rasa sangat berlebihan dan akan mengganggu psikologi anak itu sendiri.

Ibu dari BB, Yustina Supiatmi mengklaim bahwa pihak sekolah memiliki beberapa alasan akibat tidak naiknya putra idamannya tersebut. Pertama, karena ketahuan merokok, makan kuaci, dan nilai yang tidak cukup untuk naik kelas. Yustina melihat bahwa alasan tersebut tidak masuk akal, apalagi anaknya hanya memiliki nilai jelek dalam satu mata pelajaran. Menurut Permendikbud No 53 Tahun 2015 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik dan Satuan Pendidik pada Dikdasmen, murid tersebut tidak bisa tidak dinaikkan kelas kalau tidak tuntas KKM. Disebutkan bahwa Pada pasal 10 dijelaskan betul bahwa jika terdapat paling sedikit 3 mata pelajaran tidak tuntas, maka anak tersebut dinyatakan tidak naik.

Kondisi di lapangan anak yang ketahuan merokok tersebut hanya satu KKM yang tidak tercukupi nilainya. Ini yang membuat Yustina Supiatmi menjadi berang. Di sisi lain pihak SMA Kolase Gonzaga menyebutkan bahwa kebijakan yang mereka ambil sudah melalui aturan main di sekolah mereka. . Pengacara SMA Kolase Gonzaga, Edi Danggur menyebutkan aturan main dalam proses belajar mengajar sudah ditentukan dan sudah disosialisasikan kepada orang tua murid, dan juga kepada siswa itu sendiri. Lebih lanjut dia menjelaskan ada KKM atau KBM, kalau mata pelajaran peminatan itu tidak tuntas, maka siswa tersebut tidak bisa naik kelas.

Baca Juga:  Rokok dan Perokok: Dihujat Tapi Dirindukan Manfaatnya

Saya tidak ingin berlarut-larut dalam perdebatan dua klaim di atas. Sebagai seorang perokok saya memiliki pandangan tersendiri dalam melihat kasus anak merokok di lingkungan sekolah. Sosialisasi tentang larangan merokok tentu wajib dilakukan bagi para siswa dan juga orang tua mereka. Sosialisasi tentang larangan merokok ini bukan soal baya merokok, namun lebih kepada pentingnya menjaga kedisiplinan, karena kegiatan yang baik jika dilakukan di waktu yang salah dalam lingkungan sekolah juga tidak tepat.

Perlunya adanya tingkatan hukuman dalam sebuah pelanggaran. Jika siswa merokok di lingkungan sekolah dan baru dilakukan sekali, ada baiknya perlu ditegur. Bukankah selama ini sekolah selalu memiliki guru yang bertugas di bimbingan konseling? Peran dari BK harus diperjelas dan jangan dibuat menjadi seolah-olah komisi disiplin yang tugasnya menghukum. Peran BK juga harus kuat dalam menjadi tempat curhat bagi para siswa. Selama ini siswa yang masuk ruangan BK selalu mendapat cap anak nakal yang bakal dihukum, fenomena yang masih sering terjadi ini pula yang membuat tugas bimbingan konseling menjadi tak maksimal bahkan dicap sebagai monster di sekolah.

Kedua, jika siswa dua kali ketahuan merokok, maka sekolah berhak memanggil orang tua mereka. Berikan teguran yang lebih keras dan juga bimbingan konseling kepada orang tua mereka sendiri. Saya melihat bahwa terkadang sekolah juga ibarat menjadi tempat penitipan anak, sedangkan orang tua juga lalai dalam mengurus dan mendidik anak mereka sendiri. Perlu ada komunikasi antara sekolah, siswa, dan orang tua dalam bentuk yang cair dan hangat serta teguran ketika anak tersebut sudah dua kali ketahuan merokok.

Baca Juga:  Kampanye Tolak Pacar Perokok adalah Hal Konyol yang Meledek Kewarasan

Jika pelanggaran itu sudah dilakukan sebanyak tiga kali maka hukuman yang lebih keras bisa diambil oleh sekolah, terserah baik itu tidak naik kelas atau dikeluarkan. Alasan saya memilih hukuman keras diambil dalam layer ketiga bukan semata-mata karena saya seorang perokok, namun perlunya sebuah proses dalam mendidik anak itu sendiri. Pendidikan adalah sebuah proses memanusiakan siswa agar kelak menjadi manusia yang bernilai dan memiliki responsibilitas terhadap sosialnya. Satu pelanggaran jika langsung diganjar dengan hukuman berat justru akan mengganggu psikologis sang anak.

Apalagi jika siswa tersebut ternyata memiliki kecerdasan dan tak bermasalah dalam urusan nilai-nilai di mata pelajaran mereka. Akan sangat riskan bagi mereka apalagi siswa SMA yang tengah berjuang masuk ke perguruan tinggi favorit mereka. Kesalahan yang dilakukan anak itu pasti terjadi, namun yang terpenting adalah bagaimana sekolah dan juga orang tua mampu mendidik anak tersebut dan memberi pemahaman kepada mereka secara tepat sebagai bentuk tanggung jawab orang dewasa.

Indi Hikami

Indi Hikami

TInggal di pinggiran Jakarta