Press ESC to close

Gejolak Perlawanan Rakyat Atas Kenaikan Tarif Cukai

Kita sudah sama-sama tahu, melalui PMK nomor 152 tahun 2019 tentang kenaikan cukai hasil tembakau dan harga jual eceran (HJE), pemerintah akan menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran rokok sebesar 35 persen per tahun 2020. Angka ini adalah yang tertinggi yang pernah dipatok pemerintah.

Kekecewaan tak terbendung. Konsumen, sebagai elemen pamungkas dalam rantai industri rokok, jelas merupakan pihak yang paling meradang. Harga-harga rokok di tahun 2020 nanti bisa mengalami kenaikan harga sekitar 7-10 ribu rupiah. Masih sanggup beli rokok, Bung?

Sudah banyak alternatif yang mencuat. Salah satunya adalah mengonsumsi tingwe. Tingwe jelas jadi pilihan ketika harga rokok pabrikan sudah kelewat mahal akibat kenaikan tarif cukai. Komunitas Kretek sudah menjabarkan beberapa keunggulan tingwe.

Sejauh ini, diskursus soal kenaikan tarif cukai masih didominasi oleh produsen dan konsumen. Tanpa disadari, ada pihak yang juga dirugikan namun seolah luput dari perhatian. Yap! Mereka adalah petani.

Perspektif petani jarang jadi konsumsi publik. Padahal, bahaya kenaikan cukai juga mengancam mereka. Perusahaan tentu akan mengkalkulasi jumlah produk mereka yang terjual di pasaran. Secara ekonomi, kenaikan harga rokok tentu akan berdampak pada tingkat penjualan, dan pada akhirnya berdampak pada tingkat penyerapan tembakau dari ladang-ladang para petani.

Baca Juga:  Rokok Kretek sebagai Propaganda Politik Anti Jepang

Fakta tersebut yang (mungkin) menjadi alasan kelompok Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawab Barat yang melakukan aksi demonstrasi beberapa waktu lalu. Mereka menggeruduk kantor Sri Mulyani, menuntut kepastian terserapnya tembakau mereka oleh perusahaan. Dan PMK 152/2019 dianggap menjadi hambatan bagi para petani tembakau. Lahirnya regulasi ini adalah wujud kesemena-menaan pemerintah.

Temanggung, surga tembakau di Indonesia, mengalami panen yang cukup sukses di tahun 2019. Namun sayang, PMK 152/2019 berdampak pada menurunnya tingkat serapan tembakau. Hal serupa dialami petani cengkeh. Di Maluku, harga cengkeh terjun bebas dalam kurun waktu 3 bulan terakhir, meski tak berkaitan langsung dengan PMK yang baru. Tapi, kenaikan harga rokok di 2020 nanti diyakini akan memberi dampak (yang lebih buruk) pada segenap stakeholder cengkeh, mengingat cengkeh adalah salah satu komposisi utama kretek.

Negara hari ini memang diselenggarakan oleh pemerintahan yang baru. Tapi, sebagian besar isinya adalah orang-orang lama, yang memang kebal pada beragam kritik. Sri Mulyani, sebagai pembuat regulasi, mungkin sudah mengira bahwa penolakan akan muncul. Namun beliau tak menyadari bahwa dalam keadaan terdesak, siapa pun akan mau melakukan apa pun asal tujuannya tercapai.

Baca Juga:  6 Aturan Inkonstitusional dalam PP 109/2012

Kali ini petani tembakau yang turun ke jalan, bukan tidak mungkin kelompok petani cengkeh akan turut ambil bagian pula. Disusul oleh kelompok konsumen rokok yang turun ke jalan membawa gelombang perlawanan selanjutnya. Jangan hitung berapa jumlah konsumen rokok di Indonesia, kalau semua sudah marah, rasanya kawasan Monas pun tak sanggup menampung amarah perokok.

Hal semacam ini berlaku pada berbagai konteks, tak hanya soal harga rokok. Warga negara, atau masyarakat, atau rakyat, saat ini masih mengakumulasikan kekecewaan terhadap negara. Jika negara terus bertindak semena-mena, maka hanya ada satu kata: Lawan!

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd