Sering kali rokok elektrik diposisikan lebih aman dibanding rokok konvensional. Pasalnya para konsumen sudah termakan ilusi kesehatan yang dimainkan, bahwa produk ini sebagai sarana untuk berhenti dari ketergantungan rokok. Iya memang orang jadi mengurangi merokok, tetapi kemudian beli rokok elektrik.
Dipandang dari sisi regulasi, produk berkandungan nikotin sudah semestinya terikat tata aturan yang berlaku. Yakni PP 109 tahun 2012 yang sudah secara jelas dan rinci mengatur segala jenis produk berkandungan nikotin. Bahwa sebagai produk yang pula memiliki faktor risiko dan asapnya berpotensi menggangu orang lain. Sudah semestinya pula tunduk pada aturan yang ditetapkan.
Seperti yang kita ketahui bersama, pemerintah sudah menetapkan tarif kenaikan cukai untuk semua produk industri hasil tembakau. Tak terkecuali. Instrumen cukai ini berfungsi untuk mengontrol perniagaan semua produk IHT, sekaligus dianggap efektif sebagai pengendali konsumsi.
Namun bukan lagi rahasia, kalau selama ini konsumen rokok elektrik adalah konsumen yang rawan menjadi korban dari peredaran produk yang tidak sepenuhnya menganut aturan PP 109/2012. Bahkan para pendukungnya terus saja mendesak pemerintah untuk dibuatkan aturan secara khusus, sebuah regulasi yang boleh dikata lebih ‘istimewa’ dari yang ada.
Apakah karena vape, rokok elektrik, atau produk alternatif tembakau lainnya, digadang-gadang lebih aman karena proses konsumsinya berbeda dari rokok konvensional. Kemudian kelompok pemuja pavor merasa lebih pantas untuk diistimewakan melalui regulasi baru. Bahkan lebih konyol lagi menolak disetarakan dengan kenaikan tarif cukai yang dikenakan pada rokok.
Asal tahu saja ya, Bos, selama ini perkara aturan terhadap rokok elektrik di Indonesia tak seberapa ketat dibandingkan negara dunia lainnya. Terlebih soal pajak dan cukai yang dikenakannya. Seperti yang berlaku di Amerika Serikat, saat ini, North Carolina sudah menerapkan pajak sebesar 50 sen dolar AS (Rp 7.000) per mililiter cairan liquid.
Dana yang dikumpulkan dari pajak ini disisihkan sebesar 3% untuk Tobacco Use Prevention Fund yang bertujuan untuk mengurangi tingkat penggunaan rokok elektrik pada remaja. Di Amerika Serikat banyak kasus pada remaja yang menjadi korban penggunaan rokok elektrik. Artinya, produk yang digadang-gadang lebih aman dan sehat pada faktanya justru tidak demikian.
Filipina juga telah mengenakan pajak sebesar 10 peso atau sekitar Rp 2.800 per mililiter untuk cairan liquid. Namun, besaran pajak itu akan dinaikkan sesuai Undang-Undang 1026 yang disahkan Agustus lalu. Mulai tahun 2020 pajak yang dikenakan untuk cairan rokok elektrik yang dijual di Filipina akan mencapai 30 peso atau Rp 8.500 per milliter. Menurut peraturan tersebut, secara tahunan akan naik sebesar 5 peso Rp 1.400 per milimeter. Jadi, pada 2023 pajak untuk cairan rokok akan dikenakan sebesar 45 peso atau Rp 12.800 per milliliter.
Jika kelompok pemuja pavor merasa penting untuk diistimewakan, dengan mendesak pemerintah membuatkan aturan khusus terkait tata niaganya. Jelas ini membuktikan watak permainan mereka yang selama ini memanfaatkan isu kesehatan untuk membenarkan keberadaan rokok elektrik sebagai pengentas ketergantungan rokok.
Sementara di negara-negara lain aturan terkait keberadaan rokok elektrik justru jauh lebih ketat. Upaya pengendalian konsumsinya juga tak kalah serius. Lalu kenapa di Indonesia para pemuja vapor ini jadi terkesan ingin diistimewakan. Menolak pengenaan kenaikan tarif cukai yang sama dengan rokok konvensional.
Terbaca sudah arah dan polanya, bahwa cara-cara kelompok semacam itu tengah memainkan politik dagangnya. Iya palagi kalau bukan untuk merebut pasar perokok. Ketika harga-harga rokok semakin mahal, kemudian rokok elektrik bisa dikondsikan lebih murah. Dengan demikian yang diharapkan beralihnya pasar atas alasan harga yang dianggap masuk akal.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024