Sebagai perokok saya sadar bahwa (asap) rokok punya potensi mengganggu kenyamanan orang lain. Maksudnya, ada beberapa orang yang memang tidak mau (atau bahkan tidak bisa) terpapar asap rokok. Atas alasan itu, pembagian ruang bagi perokok adalah hal yang mutlak diperlukan. Termasuk di kawasan wisata Malioboro.
Malioboro, sebagaimana yang dikampanyekan oleh otoritas setempat, merupakan salah satu wilayah yang masuk dalam kategori Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Jogja. Fakta ini membawa beberapa implikasi, salah satu yang paling kentara ya soal eksistensi perokok yang selama ini terbilang cukup banyak jumlahnya. Apakah mereka tak lagi boleh nongkrong di Malioboro?
Ini kabar baiknya. Pemerintah setempat memang akan melarang aktivitas merokok di Malioboro, namun mereka sudah menyiapkan beberapa titik sebagai ruang merokok. Ini menjadi kabar baik karena memang ruang merokok adalah hak. Konstitusi bahkan mengaturnya.
Persoalannya, apakah keberadaan ruang merokok ini sudah cukup diketahui oleh para perokok di Malioboro? Rasanya tidak juga. Terutama bagi mereka yang merupakan pendatang.
Fenomena ini merupakan imbas dari penerapan Perda Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Selain membagi ruang perokok, pemerintah setempat juga akan menerjunkan Satgas Kawasan Tanpa Asap Rokok. Satgas ini bertugas patroli di sekitar Malioboro. Mereka yang akan merazia para perokok untuk kemudian mereka “giring” ke ruang merokok yang tersedia.
Bagi saya yang cukup jarang berkunjung ke Jogja, hal ini tentu akan sangat meresahkan. Malioboro itu wajahnya Jogjakarta, rasanya ada yang kurang kalau ke Jogja tanpa berkunjung ke sana. Kali terakhir ke sana, saya masih bisa merokok sambil duduk-duduk di pinggir jalan sambil menyaksikan musisi jalanan. Mendengar kabar terkini soal penataan Malioboro, saya agak khawatir. Saya takut tanpa sadar merokok di wilayah yang tidak seharusnya, kemudian digiring macam anak bebek.
Hal ini tentu tak perlu terjadi andai pendekatan yang dipilih lebih persuasif. Otoritas setempat perlu lebih gencar sosialisasi sebelum mengambil sikap yang menjurus represif. Perlu dipastikan pula bahwa Malioboro memang sudah siap jadi KTR, jangan justru menjadi kontraproduktif. Berapa banyak titik merokok yang disiapkan? Bagaimana standar kenyamanan dan fasilitas ruang merokok yang akan disediakan? Pertanyaan-pertanyaan ini harus lebih dulu terjawab.
Sejak awal Perda KTR Jogja disahkan, pemerintah selalu menyebut bahwa mereka akan menyediakan ruang merokok. Namun hingga kini mereka masih berada pada tahap rencana. Sedang demikian, Satgas sudah diluncurkan.
Para perokok sejatinya bukan kumpulan manusia bebal yang tak bisa diatur. Apalagi di Malioboro. Sejauh yang saya tahu, orang-orang di sepanjang jalan itu telah terbiasa secara kultural untuk saling menghargai perkara rokok. Tak perlu patroli, para perokok di sana tentu akan sedikit bergeser apabila ada yang tergangu asap rokoknya. Mereka berhati nyaman.
Sayangnya, make-up tebal sudah disiapkan untuk mendandani wajah Malioboro. Perokok santun di sana akan segera terbagi ke dalam 3 titik saja. Ya, di sepanjang jalan itu, rencananya hanya akan disediakan 3 titik merokok. Akan tiba waktu di mana para musisi jalanan di sekitar Titik 0 Kilometer harus berjalan lebih jauh ke arah stasiun untuk sekadar bisa merokok di Malioboro.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022