Malioboro sebagai daerah kunjungan wisata kerap menjadi perhatian banyak wisatawan. Kota Yogyakarta dengan segala keistimewaan produk budaya dan kehidupan masyarakatnya, membuat Malioboro menjadi salah satu ikon wisata di Yogyakarta. Karena hal itulah pemerintah daerah Yogya terus berupaya mencipta kenyamanan ikon wisata tersebut.
Seturut upaya itu, rencana pemerintah menjadikan Malioboro sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) cukup menjadi perhatian beberapa kalangan. Kita tentu tahu, banyak kota di Indonesia juga melakukan upaya penerapan KTR. Boleh jadi, agenda KTR menjadi cara untuk mencitrakan sebuah kota agar mendapatkan satu nilai prestisius. Namun pada prakteknya, penerapan KTR belum sepenuhnya memberi porsi yang berkeadilan.
Kebanyakan Perda KTR dibuat didasari kepentingan untuk menihilkan aktivitas merokok, seakan-akan aktivitas merokok yang merupakan kegiatan legal menjadi tak memiliki hak setara dengan produk konsumsi lainnya. Hal ini didasari oleh narasi yang dibangun oleh kepentingan rezim kesehatan. Rokok mendapat stigma produk berbahaya yang terus dikampanyekan. Tak ayal upaya menghadirkan KTR pun demikian rancu di mana-mana.
Disebut rancu karena penerapan KTR terjadi tanpa dibarengi semangat untuk mengakomodasi hak semua masyarakat. Perokok seakan dinihilkan dari kehidupan bersama. Satu hal yang belum terwujud adalah soal penyediaan ruang merokok.
Rencana Pemerintah Kota Yogyakarta yang ingin menjadikan Malioboro sebagai Kawasan Tanpa Rokok, tentu saja mendapatkan respon yang berbeda-beda. Dalam konteks ini termasuk dari wisatawan yang berkunjung ke Malioboro.
Sebagaimana kita ketahui, pada poin-poin KTR disebutkan beberapa lokasi seperti rumah sakit, puskesmas, poliklinik, sekolah, sarana bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, dan tempat kerja, dan tempat umum lainnya ditetapkan pemerintah setempat harus nihil dari kegiatan merokok. Tafsir atas tempat umum lainnya inilah yang membuat Malioboro direncanakan menjadi Kawasan Tanpa Rokok.
Sebagai orang yang kerap menyambangi kota Yogya, saya menilai rencana penerapan KTR untuk Malioboro berpotensi tergelincir pada persoalan yang sama terjadi di kota-kota lain. Tidak sepenuhnya mengakomodasi hak semua golongan. Bahkan akan sangat mungkin mengikuti pola-pola yang pernah dilakukan, penerapan sanksi dan upaya lain yang diskriminatif. Semoga saja keliru belaka tafsir saya ini.
Salah dua respon tentang rencana KTR Yogya disampaikan pula oleh Angga (23), wisatawan asal Purwokerto. Angga mengaku tidak setuju dengan penerapan KTR di Malioboro. Baginya, Malioboro adalah tempat terbuka yang tidak semestinya ada larangan untuk merokok. Kecuali kantor dan mall, menurutnya itu masih relevan.
Pandangan Angga ini mungkin karena tidak begitu memahami betul poin-poin apa saja yang diatur di dalam Perda KTR. Dari sisi ini kita bisa menarik satu catatan bagi pemerintah daerah untuk juga melakukan sosialisasi dan upaya edukasi secara baik ke semua lapisan. Ada satu hal dari pandangan Angga yang cukup relevan terkait wacana KTR, adalah soal penyediaan tempat merokok. “Jika dilarang merokok di Malioboro, seharusnya ada tempat khusus bagi perokok di sepanjang lokasi wisata ini”. Ujar Angga.
Tentu saja masih ada pandangan-pandangan lain yang bisa saja senada dengan yang diungkapkan Angga. Boleh jadi pula pandangan sebaliknya dari masyarakat yang belum teredukasi dalam memahami wacana KTR tersebut. Kita sebagai perokok pada umumnya bukan menolak diatur-atur, namun mestinya peraturan yang dihadirkan bukan untuk membuat perokok jadi merasa didiskriminasi.
Langkah konkret agar tidak terjadi anggapan semacam itu, iya mestinya upaya penerapan KTR dibarengi pula dengan semangat menyediakan tempat-tempat merokok. Agar daerah wisata seperti Malioboro tetap nyaman bagi semua, dan menjadi sebangun dengan semboyan Berhati Nyaman yang diulungkan untuk kota istimewa ini.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024