Press ESC to close

Harga Rokok Merangkak Naik, Pemerintah Harus Lebih Waspada

Naiknya harga rokok di pasaran akibat kebijakan cukai memberi pengaruh berarti di masyarakat. Secara langsung  hal ini tentu berimbas ke pada konsumen konsumen. Sehingga banyak perokok kemudian beralih. Dari rokok mahal ke rokok yang lebih murah. Selalu ada pilihan, termasuk beralih ke tingwe.

Banyak kalangan menilai prevalensi perokok akan menurun dengan naiknya harga-harga rokok. Namun faktanya tidak melulu begitu. Sebagian perokok memilih membeli rokok golongan dua. Meski di tahun depan harga jual eceran rokok golongan dua juga naik harganya sampai 35% dari harga tahun ini.

Tidak hanya berpengaruh terhadap konsumen, kebijakan cukai untuk tahun 2020 jelas dirasa sangat tidak menguntungkan bagi semua stakeholder pertembakauan, terutama pihak pabrikan. Mengingat angka kenaikannya jauh lebih tinggi dari angka yang dianggap moderat, bagi pihak industri kondisi ini diakui sangat memberatkan, lebih jauh lagi imbasnya terhadap petani.

Berdasar data yang dihimpun BPS, inflasi rokok terjadi di 50 kota berdasar indeks harga konsumen dari total 82 kota yang disurvei. Inflasinya mulai dari 0,01% sampai 4%. Menurut pihak industri, rencana kenaikan yang diperkira cukup moderat di kisaran 10%, namun faktanya jauh dari yang diperkirakan. Ini salah satu yang disesalkan pihak industri.

Baca Juga:  Salut! Menteri Kesehatan Norwegia Obyektif Dalam Menyikapi Rokok

Seperti kita ketahui, tarif cukai untuk tahun 2020 ditetapkan naik 23% dan HJE naik 35%. Terkait kebijakan tersebut kepada pihak industri tidaklah dikomunikasikan terlebih dahulu. Berdasar hitungan kasar dengan asumsi angka tersebut, cukai yang harus disetorkan kepada negara akan mencapai Rp 185 triliun. Dari sisi ini, negara benar-benar ingin menggenjot target pendapatan dari rokok. Sementara di sisi lain, agenda kesehatan yang mendiskreditkan rokok terus berlangsung.

Sebagaimana kita ketahui, ada tiga alasan pemerintah yang melandasi kebijakan terkait cukai, yakni untuk mengurangi konsumsi, mengatur industri, serta untuk meningkatkan penerimaan negara. Ketiga hal tersebut diprediksi tidak akan sepenuhnya tercapai. Pasalnya iya itu tadi, konsumen memiliki siasat lain untuk tetap bisa ngebul, di antaranya beralih ke tingwe atau memilih membeli rokok yang lebih murah.

Belum lagi ada dampak lain dari kenaikan cukai ini, niscaya akan mendorong maraknya peredaran rokok non cukai, atau yang biasa disebut rokok ilegal. Maraknya peredaran rokok ilegal jelas sangat merugikan negara, dari sisi ini tentu akan mengganggu target penerimaan cukai yang sudah dirancang pemerintah.

Melihat kondisi konsumen yang kebanyakan akan beralih, sebetulnya poin-poin yang melandasi kenaikan cukai akan semakin jauh panggang dari api. Konsumen rokok di Indonesia pada umumnya memiliki daya adaptasi yang lentur dan kreatif dalam menyikapi kondisi.

Baca Juga:  Menafsirkan Uskup Soegija Merokok

Perokok tidak serta merta kaget juga akan kondisi tersebut, justru pada gilirannya yang lebih terkejut adalah pemerintah. Apa pasal? Karena poin-poin yang dijadikan alasan kenaikan cukai pada ujungnya tak juga tercapai. Seperti yang pernah terjadi pada tahun 2015.

Pada tahun 2015, pemerintah terbukti gagal dalam merealisasi target penerimaan cukai. Ini yang seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga. Saat itu, kenaikan tarif cukai rokok berada di atas 10%. Untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, pemerintah gagal mewujudkan target penerimaan cukai. Hal ini terjadi karena kegagalan pemerintah membaca situasi dan kondisi para stakeholder kretek, utamanya konsumen dan industri. Tahun 2020 nanti ya besar kemungkinan hal serupa terjadi. Di situlah, pemerintah harus lebih waspada.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah