Press ESC to close

Fenomena Tingwe Memunculkan Peluang Usaha Bagi Kalangan Muda

Tingwe kini menjadi fenomena yang cukup trend di kalangan mahasiswa. Budaya melinting rokok sendiri bagi orang muda sudah bukan lagi hal tabu. Celotehan yang menganggap tingwe itu budaya kampungan atupula budaya jadul, sudah tak berarti lagi. Seperti kita ketahui, fenomena tingwe ini muncul akibat kebijakan cukai sehingga harga rokok menjadi mahal.

Di sejumlah kota, Semarang misalnya, beberapa mahasiswa telah menjadikan tingwe sebagai satu solusi dari naiknya harga rokok. Merayakan tembakau dengan cara dilinting di kalangan muda ini telah menepis berbagai anggapan yang melekat pada tingwe. Iya memang, alasan orang mengisap rokok tingwe di antaranya karena lebih murah dan hemat.

Namun di sisi lain, mengonsumsi tingwe juga membuat sebagian penikmatnya mendapatkan sensasi tersendiri. Bisa dibilang lebih artsy, membuat jemari sedikit lebih produktif. Meski sebagian lainnya menganggap tingwe bukanlah pilihan taktis.

Terlepas dari itu semua, budaya tingwe di kalangan orang muda telah menyuburkan pula satu peluang usaha baru. Sejumlah kedai kopi yang biasanya hanya menyediakan varian kopi Nusantara, kini turut mendapat keuntungan dari berjualan tembakau beserta printilannya. Tingwe bukan semata solusi bagi perokok, namun juga menjadi sumber penghasilan tambahan bagi kedai-kedai kopi.

Di media sosial pun saat kita berselancar di instagram, hanya dengan mengetikkan katakunci #tingwe dan #tembakau seraya akan bermunculan akun-akun yang menawarkan varian tembakau dari banyak daerah. Ada akun yang memang didedikasikan sebagai akun bisnis, ada juga akun personal yang sifatnya sekadar sampingan, maka akan kita temukan penampakan tembakau yang ditawarkan secara eceran dan berbagai pilihan lainnya. Bicara soal harga, bila dibandingkan dengan membeli rokok, tentu saja bertingwe ria jauh lebih hemat.

Baca Juga:  Benarkah Iklan Menjadi Penyebab Utama Meningkatnya Prevalensi Perokok Di Bawah Umur?

Bayangkan, kalau biasanya kita membeli rokok sebungkus, katakanlah Rp 20,000 dimana per bungkusnya berisi 16 batang. Jika dibandingkan dengan membeli tembakau yang harga per ons-nya tidak lebih dari Rp 20,000, sudah bisa dipastikan 50-an linting lebih bisa kita buat. Untuk merintis usaha berjualan tembakau ini juga tidak terlalu rumit. Kita bisa membeli langsung dari petani ataupula membeli dari kulakan tembakau, tanpa harus membayar cukai layaknya kita membeli rokok.

Sependek pengamatan saya, tidak cuma tembakau sebagai konten utama yang dicari perokok. Produk printilannya juga turut laris dibeli, printilan penunjang aktivitas tingwe itu ya berupa papir, gabus, serta alat lintingnya. Terlebih lagi perokok di masyarakat kita umumnya akrab dengan kretek, maka konten tambahan yang juga dipastikan laris adalah cengkeh. Peran cengkeh yang dicampurkan pada tembakau mampu menjinakkan rasa tembakau yang terlalu kuat unsur nikotinnya.

Selain di Semarang, sejak tahun lalu di Jogja juga sudah bermunculan toko-toko khusus yang menyediakan varian tembakau. Sebut saja Toko Tembakau Rejeki yang berada di daerah Gejayan, ataupula Toko Djaya yang berada di daerah Condong Catur. Bisnis yang menawarkan sarana rekreatif bagi perokok ini dikelola sepenuhnya oleh orang muda.

Baca Juga:  Mendedah Dalih Aksesi FCTC

Banyak pilihan produk tembakau yang tersedia di toko-toko tersebut. Dengan bermunculannya toko-toko tembakau di banyak daerah, seiring pula meningkatnya minat perokok beralih ke tingwe. Maka bukan omong kosong, jika tingwe sebagai satu ikon perlawanan konsumen ini dapat menjungkirkan target penerimaan negara dari cukai rokok. Bisa kita bayangkan, siapa pihak-pihak yang akan tepuk jidat akibat tak tercapainya target penerimaan cukai. Untuk itu, ekosistem usaha tembakau rakyat ini harus terus bertumbuh. Agar para perokok yang beralih ke tingwe tidak perlu bingung atau kesulitan untuk mengakses ibadah ngebulnya melalui tingwe. Selamat merayakan tingwe!

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah