Press ESC to close

Mendiskreditkan Rokok Melalui Deklarasi Antinarkoba

Selalu saja masyarakat dipaksa memahami isu kesehatan yang mengait-ngaitkan rokok dengan narkoba. Padahal asas hukumnya sudah jelas, narkoba itu produk ilegal, sementara rokok adalah barang legal. Disebut produk legal karena rokok sudah dikenai cukai, sebagai jaminan bahwa produk tersebut sah peredarannya dan boleh dikonsumsi. Brengseknya, isu kesehatan kerap membingkai rokok dan narkoba seakan-akan memiliki bahaya yang sama.

Upaya yang dilakukan dengan membawa sesat pikir itu, di antaranya dengan menciptakan jargon kampung antinarkoba dan asap rokok. Menghimpun keterlibatan masyarakat untuk berkomitmen dengan tujuan mereka. Apalagi tujuannya kalau bukan mendiskreditkan produk legal rokok. Bukan mustahil, mengkriminalisasi pula aktivitasnya.

Seperti yang dilakukan pihak kesehatan di Bener Meriah, Aceh, tepatnya di kampung Pondok Gajah. Pihak kesehatan setempat memainkan isu kesehatan dengan menyandingkan bahaya narkoba dengan rokok sebagai ancaman di masyarakat. Jika memang targetnya untuk memerangi bahaya narkoba kenapa rokok turut disertakan?

Sesungguhnya isu ini kerap kali dimainkan sebagai pintu masuk untuk mengintervensi alam pikir publik. Sehingga kemudian pihak kesehatan dan para pihak yang terlibat dapat dengan mudah melakukan tindakan yang melampaui wewenangnya. Di antaranya dengan melarang orang merokok di rumahnya sendiri. Di tempat tinggal yang sejatinya wilayah privasi.

Baca Juga:  Naifnya Pemkot Malang Menghadapi Gelombang PHK Pabrik Rokok

Jika atas nama kesehatan, lantas publik jadi kehilangan hak mengakses kesenangan di rumah sendiri. Itu kan sama halnya menihilkan asasi manusia dalam menentukan hak hidup. Seakan-akan aktivitas merokok adalah satu tindakan ilegal yang harus diberantas layaknya mengonsumsi narkoba. Jika urusan mengonsumsi rokok di rumah saja sudah dinyatakan terlarang, bukan tidak mungkin nantinya akan berkembang ke hal-hal yang lebih privasi. Misalnya urusan menafkahi batin suami maupun istri. Iya kan keblinger kalau sudah begitu.

Di sinilah absurdnya, kenapa kita seperti dipaksa untuk memahami agenda kesehatan yang nyata-nyata mengintervensi kewarasan publik. Ini semua lantaran dalih normatif tentang kesehatan telah merebut nalar kritis publik dalam memaknai produk konsumsi. Jika kita mau kritisi, sebetulnya tak ada produk konsumsi yang tak memiliki faktor risiko. Kenapa hanya produk rokok yang disandingkan setara dengan narkoba. Ada kepentingan terselubung apa di balik kampanye antirokok yang sampai harus mengintervensi wilayah privasi.

Kalau memang para pihak ingin mengupayakan kualitas kesehatan di masyarakat. Masih ada hal-hal yang lebih penting untuk dilakukan toh, misalnya terkait persoalan gizi di masyarakat, kebersihan lingkungan, agar masyarakat lebih perhatian terhadap penyakit yang ditimbulkan dari sanitasi yang buruk ataupula sampah yang tak terkelola dengan baik.

Baca Juga:  Sesat Pikir Pasal Soal Produk Tembakau di RUU Kesehatan

Alangkah bijaknya lagi kalau pihak kesehatan setempat dan jajaran yang terlibat, lebih mengedukasi perokok agar berlaku santun. Merokok di tempat yang jauh dari jangkauan anak maupun ibu hamil, dari jangkauan mereka yang tergolong rentan. Bukan malah melarang orang merokok di rumah. Bukan malah mensejajarkannya dengan ancaman narkoba. Namun tentu bukan opsi itu yang mereka pilih, karena target mereka jelas untuk mendiskreditkan rokok. Lebih parah lagi mendiskriminasi perokok.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah