Harga Jual Eceran (HJE) rokok naik 35 persen di tahun 2020. Suara penolakan pada kebijakan ini terus mengalir, terutama dari para perokok. Selain penolakan, kebijakan ini juga mendapat dukungan. Nah, saya bisa pastikan, sebagian besar—untuk tidak menyebut semua—yang mendukung kebijakan ini, ya, antirokok.
Secara umum, argumentasi dukungan pada kebijakan HJE yang baru ini tak jauh dari seputar isu kesehatan. Mereka (kelompok antirokok) selalu beranggapan bahwa rokok adalah sumber dari segala penyakit. Jadi, anggaran kesehatan negara ini bengkak untuk pengobatan orang-orang yang sakit karenanya, maka, harga produk ini harus mahal semahal-mahalnya untuk menekan daya beli masyarakat. Kemudian jumlah perokok berkurang dan perlahan punah, hingga akhirnya tak ada rakyat yang sakit karena produk tembakau. APBN terselamatkan. Negara sejahtera dan menjadi adidaya. Seperti itu.
Setelah diperhatikan, ada argumentasi lain dari pendukung rokok mahal. Misalnya, suara-suara kelas menengah yang mendorong wacana agar rokok dijadikan barang mewah (luxury), supaya hanya bisa dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas atau orang kaya. Argumentasi ini tidak sepenuhnya menolak konsumsi rokok. Pendukung argumen ini hanya menolak konsumsi rokok oleh orang miskin. Boleh merokok asal kaya. Begitu kira-kira.
Argumentasi ini tentu tidak berdiri sendiri. Ada argumen kesehatan yang (lagi-lagi) mengikuti, seperti: biaya kesehatan mahal, jadi, kalau makan saja masih susah, ya jangan merokok.
Mereka mewajarkan biaya kesehatan yang mahal. Alih-alih mendorong negara memberikan pelayanan kesehatan gratis, mereka justru “melarang” orang miskin untuk sakit.
Kelas menengah di negeri ini memang ngehe. Maaf, maksudnya sebagian kelas menengah. Mereka memposisikan diri di luar lingkaran orang miskin, tapi seolah paling paham problematika hidup orang miskin. Sial betul!
Menarasikan rokok sebagai barang mewah tentu tidak sepenuhnya salah. Karena memang produk ini jelas barang mewah. Setidaknya itulah kemewahan terakhir yang bisa dimiliki oleh banyak orang miskin dalam menghadapi kerumitan-kerumitan hidup. Merokok jadi obat bagi mereka yang stres namun tak bisa berlibur ke pantai. Merokok jadi solusi bagi mereka yang butuh inspirasi namun tak punya cukup uang untuk sekadar nongkrong di cafe. Kemewahan-kemewahan itu mereka temukan di dalam rokok.
Tapi, kalau “mewah” yang dimaksud adalah harus serba mahal dan hanya untuk kelas atas, itu biadab namanya. Rokok itu rekreasi sederhana. Ada orang yang berhasil menemukan ide cemerlang setelah merokok. Ada orang yang berhasil keluar dari kegelisahan dengan merokok. Rokok jadi saluran ungkapan emosi banyak orang. Lha, kok hal sesederhana itu saja harus mahal?
“Kalau rokok untuk kelas atas saja, lalu dengan apa kelas bawah menumpahkan stress mereka karena terus-menerus ditindas kaum atas?
Perlu pembacaan menyeluruh terkait rokok. Tidak semudah ‘makan aja susah, ngapain beli rokok’, mereka butuh katarsis atas hidup yang sialan ini.” cuit akun twitter @babypane.
Kutipan tersebut rasanya cukup mewakili keresahan masyarakat kelas bawah yang selama ini serba terbatas. Sudah cukup “melarang” orang miskin untuk sakit karena susu, obat dan biaya kesehatan yang tak terbeli. Sudah cukup “melarang” orang miskin untuk pintar karena biaya pendidikan yang tinggi. Jangan tambah lagi dengan “melarang” orang miskin untuk merokok. Cukup!
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022