Isu FCTC yang merupakan traktat internasional tentang pengendalian tembakau kembali mencuat di media. Adanya desakan kepada pemerintah meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) dari pihak yang mengatasnamakan kesehatan, terus saja bermain lewat berbagai instrumen. Dari soal isu cukai dan kemiskinan sampai isu Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Sebetulnya sudah sejak lama gerakan antitembakau di Indonesia mengupayakan target-target tersebut. Hanya saja, kita sebagai masyarakat awam tidak terlalu ngeh, kalau selama ini agenda FCTC bermain secara halus dan kerap menggunakan logika normatif sebagai kedoknya. Kewarasan publik terus diolok-olok oleh logika kesehatan yang dibangun sealur agenda FCTC di Indonesia. Maka secara sederhana, ada 3 poin tbahaya FCTC yang dirasakan langsung oleh perokok sebagai konsumen. Ini penting untuk kita ketahui bersama.
Pertama, harga rokok menjadi terus-terusan naik
Memasuki tahun 2020, konsumen rokok adalah yang semakin terasa dihajar oleh kepentingan rezim antitembakau. Seperti yang kita ketahui, mahalnya harga-harga rokok akibat kebijakan cukai menjadi satu pukulan langsung yang memberi efek beruntun. Soal kenaikan cukai ini secara berantai akan terus terjadi dari tahun ke tahun. Naiknya harga rokok setiap tahunnya ini tentu bukan dikarenakan industri rokok ingin mencekik konsumennya. Melainkan karena kebijakan pemerintah untuk menggenjot pemasukan kas negara melalui sektor pertembakauan.
Perlu dipahami, bahwa dalam naskah FCTC terdapat salah satu cara untuk melanggengkan kepentingan bisnis pengendalian tembakau, yakni memaksa negara untuk menaikkan harga rokok setinggi-tingginya. Mengapa demikian? Sebab jika harga rokok dinaikkan tinggi melalui skema kenaikan cukai rokok 200 persen, asumsinya adalah perokok tidak berpikir ulang untuk membeli rokok.
Kedua, stigma negatif terhadap perokok dan industri
Bagi publik awam yang tidak terlalu paham akan skema kepentingan FCTC, tentu saja dengan enteng akan mengutuki pabrikan yang seakan-akan ‘mengisap’ uang konsumen. Inilah salah dua spektrum negatif yang diinginkan rezim antitembakau global untuk memukul industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia melalui regulasi cukai. Targetnya meruncingkan stigma negatif terhadap rokok dan sektor IHT di Indonesia.
Selanjutnya kemudian berkembang anggapan bahwa konsumen rokok itu memiliki perilaku yang moron dan pesakitan. “Sudah tahu rokok mahal dan bikin penyakit, masih saja merokok”. Celotehan semacam itu menjadi lazim muncul di masyarakat yang kerap termakan narasi kesehatan yang menjelek-jelekkan produk rokok. Label bahwa aktivitas merokok adalah kebodohan hakiki yang dirayakan perokok semakin menguat. Kewarasan publik terbelah, di satu sisi mengamini devisa rokok bagi negara di lain hal mengutukinya. Kondisi ini memang dibuat dan dipelihara oleh antirokok.
Dalih prevalensi perokok yang dikaitkan dengan narasi kesehatan terus pula dimainkan, munculnya fenomena anak di bawah umur merokok dan mitos perokok pasif direpetisi hingga menemukan konteksnya dalam berbagai pembahasan, dan pada gilirannya menjadi satu pembenaran atas duit cukai dalam penggunaannya untuk menambal persoalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ketiga, perlakuan diskriminatif terhadap perokok
Selama ini di banyak media, pihak antirokok dengan menggunakan logika kesehatannya mem-framing perokok sebagai pesakitan yang seakan-akan harus bertanggung jawab atas berbagai penyakit yang dikaitkan dengan rokok. Dengan menggunakan hasil riset ini-itu yang diadaptasi dari penelitian asing tentang kesehatan, rokok dan perokok terus saja dijadikan biang kerok atas segala persoalan kesehatan di masyarakat. Akal sehat masyarakat dipaksa percaya, bahwa perkara sebats ini jauh lebih berbahaya dari persoalan kesehatan lainnya.
Berdasar logika yang dibangun dalam upaya membentuk alur berpikir publik itulah, besaran tarif cukai yang mencapai 23% menjadi terkesan masuk akal. Jelas satu tindakan konyol yang dilakukan pemerintah. Logika bahwa dengan membuat mahal harga rokok maka perokok akan berhenti, keliru besar. Dampak lanjutannya justru mencipta inflasi pada berbagai kebutuhan lain. Perokok adalah konsumen yang adaptif untuk tetap bisa merokok, iya itu tentu saja. Namun, kenaikan harga-harga kebutuhan lain yang terkerek akibat kenaikan cukai, secara tidak langsung menimbulkan anggapan bahwa ini semua karena rokok di pikiran masyarakat awam.
Sebagai catatan, setiap tahunnya sektor pertembakauan secara konsisten menyumbang 9 persen dari total keseluruhan pemasukan kas negara dan menyumbang 95 persen dari total pungutan negara melalui cukai. Besarnya angka yang disumbang bagi pendapatan negara inilah yang setidaknya mesti dapat pula dirasakan oleh konsumen, selainpula kembali ke pengembangan di sektor hulu.
Akibat pelabelan yang dibangun rezim antitembakau, perokok seperti golongan pesakitan yang harus menanggung sanksi akibat aktivitasnya itu. Perokok menjadi konsumen yang diasingkan dari ruang bersama. Tidak ada produk konsumsi lain yang diperlakuan seheboh itu. Untuk urusan merokok saja perokok dibuat kesulitan mengakses tempat merokok, karena tidak ada keseriusan yang diwujudkan para pihak ketika menyoal rokok di KTR. Melulu hanya bicara di tingkat penerapan citra KTR dan sanksi-sanksi bagi perokok yang melanggar KTR.
Sederhananya, agenda FCTC yang belum diratifikasi saja sudah begitu masif mendiskriminasi rokok dan perokok serta mengolok-olok kewarasan publik. Apalagi kalau sampai FCTC diratifikasi, bukan hanya harga rokok yang akan semakin tak terjangkau, perokok sebagai penyumbang devisa akan semakin dipersulit mengakses sarana rekreatifnya. Ini kan jelas ngehek!
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024