Setidaknya sudah setahun terakhir ini, saya mengamati, mulai banyak kawan saya yang masuk dalam mahzab al-lintingiyah, alias merokok rokok lintingan. Mereka mulai banyak melinting mbako sendiri alih-alih membeli rokok jadi. Beberapa hanya sekadar sebagai selingan, beberapa benar-benar beralih full dari rokok biasa ke rokok lintingan.
Tren rokok lintingan ini memang mulai merebak, tak ubahnya seperti tren vape yang juga mulai marak beberapa waktu terakhir. Kedai-kedai tembakau alias mbako sekarang mulai bertebaran. Jika dulu warung-warung mbako biasanya hanya dikunjungi oleh orang-orang tua, kini anak-anak muda sepantaran saya bahkan di bawah saya mulai banyak meramaikannya.
Harga rokok memang semakin lama semakin mahal. Hampir setiap tahun harganya selalu naik. Per akhir tahun kemarin saja, harga rokok rata-rata naik sepertiga karena memang tarif cukai rokok mengalami kenaikan yang signifikan. Yah, ongkos kebal-kebul memang semakin mahal.
Di Indonesia, industri rokok memang menjadi industri yang strategis, dan karena itulah ia banyak diserang. Berbagai aturan untuk menyerang bisnis ini bisa dilihat dengan jelas. Iklan rokok dilarang tayang di televisi di bawah pukul 9 malam, itu pun nggak boleh menampilkan gambar orang merokok. Perusahaan rokok dilarang mensponsori kegiatan olahraga dan kesenian. Beberapa daerah bahkan sudah melarang toko-toko retail untuk memajang rokok.
Industri kretek Indonesia diserang dari dalam dan luar negeri. Dari dalam, diserang melalui berbagai peraturan pemerintah yang semakin memojokkan rokok. Dari luar negeri, diserang melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, yang mana merupakan semacam perjanjian antar bangsa-bangsa dalam menekan bisnis tembakau. Saat ini, Indonesia menjadi satu dari sembilan negara anggota PBB yang masih menolak untuk mengikuti aturan FCTC walau terus didesak oleh banyak negara lain.
Lha gimana, rokok adalah salah satu produk andalan bagi Indonesia. Memaksa Indonesia untuk mengikuti aturan FCTC dan menekan bisnis tembakau tentu saja tak jauh bedanya dengan memaksa Amerika untuk menekan bisnis senjata atau memaksa Spanyol menekan bisnis wine.
Bisnis rokok, terlepas dari isu kesehatan dan isu-isu lain yang menyertainya, tetaplah bisnis yang penting bagi Indonesia.
Jumlah pabrik rokok di Indonesia ada lebih dari 400-an, itu belum termasuk pabrik-pabrik kecil rumahan yang mungkin tak terlacak. Jumlah merek rokok yang beredar pun mungkin ada puluhan ribu, dari yang mereknya terkenal kayak Djarum Super sampai yang kurang terkenal kayak Djeruk (yang mana sering dibikin joke, rokok merangkap obat sariawan sebab mengandung vitamin C).
Jumlah pekerja yang terlibat dalam bisnis ini juga banyak. Ada sekitar hampir 6 juta orang yang terlibat dalam bisnis rokok, dari mulai petani tembakau, petani cengkeh, pekerja pabrik rokok, pekerja distribusi, sampai pedagang rokok eceran. Jumlah pendapatan negara dari duit rokok juga sangat besar, bisa mencapai 170-an triliun per tahun.
Di tengah serangan yang membabi buta terhadap rokok, entah sampai sejauh mana Indonesia bakal tetap bisa mempertahankan bisnis tembakaunya ini.
Sekarang, di saat rokok mahal karena cukainya naik gila-gilaan, orang-orang mungkin bisa beralih ke rokok tingwe alias ngelinting dhewe. Tapi tentu saja bukan tak mungkin di masa depan, tingwe pun dikenai cukai yang sangat besar dan orang-orang tak kuat lagi menjadi pelinting.
Memang kasihan betul orang Indonesia ini. Mau darmawisata kudu nabung lama, mau dangdutan harus ijin polisi, mau mabuk kudu beli yang mahal harganya, sebab yang murah pasti miras ilegal, ealah mau merokok juga kok ya semakin hari semakin sulit.
Kalau saya sendiri, sungguh beruntung, saya tidak ngerokok dan juga tidak ngelinting. Kasih sayang dari istri sudah sangat cukup bagi saya untuk memenuhi hidup saya dengan asap-asap kebahagiaan.
Lagipula, selain wagu, secara topografi, saya memang nggak cocok kalau ngerokok. Klomoh, buoooos.
- Rokok Unik dan Ancaman Kebangkrutan - 7 March 2020
- Ancaman FCTC Bagi Indonesia - 29 February 2020