Press ESC to close

Cukai Rokok dan Pelajaran Dari Presiden Brazil

Tarif cukai rokok, sebagaimana yang kita tahu, terus mengalami kenaikan. Setidaknya kenaikan tarif cukai rokok terus terjadi selama satu dekade terakhir–kecuali tahun 2019. Pada tahun ini tarif cukai rokok dipatok naik sebesar 25 persen, angka tertinggi dalam sejarah. Harga Jual Eceran (HJE) juga dipatok naik sebesar 35 persen. Alhasil, harga-harga rokok di pasar melonjak hingga sekitar Rp 5-7 ribu.

Di Indonesia, rokok adalah barang seksi. Menjadi seksi karena rokok dicintai sekaligus dibenci banyak pihak. Meski sudah dikonsumsi oleh banyak orang selama bertahun-tahun, tetap ada kelompok yang menganggap rokok adalah produk yang ‘berbahaya’ dan perlu dikendalikan peredaran serta penggunaannya. Alasan pengendalian inilah yang menyebabkan adanya pungutan pajak (bea dan cukai adalah bentuk lain dari pajak).

Seperti juga pajak, cukai punya fungsi mengatur atau membatasi. Dalam hal ini, cukai dipungut untuk ‘mengurangi’ konsumsi rokok yang dianggap berbahaya. Tentu ini membingungkan, kalau memang dianggap berbahaya, kenapa tidak sekalian saja melarang rokok? Menutup semua pabrik rokok, misalnya? Karena sadar tidak bisa melarang, negara tidak mau rugi: aktivitas itu diduiti. Dipungut cukai. Dijadikan sumber pendapatan.

Sebagai sumber pendapatan, Industri Hasil Tembakau (IHT) hampir tidak mungkin diberangus oleh negara. Kenaikan tarif cukai yang terlampau tinggi juga tentu berisiko bagi negara; industri rokok akan koleps, pendapatan negara berkurang, hasil panen petani tembakau tidak terserap, jutaan buruh padat karya mengalami PHK, stabilitas ekonomi terganggu. Maka, negara perlu berhati-hati dalam menentukan tarif cukai.

Baca Juga:  Tidak Ada Revisi Cukai Rokok 2024, Pabrik Gulung Tikar

Persoalan pajak (dan cukai) ini tak hanya berlaku pada produk rokok, melainkan pada produk konsumsi lain yang juga dianggap ‘berbahaya’. Sebagai contoh, minuman beralkohol juga dikenai cukai sebagai wujud “pajak dosa”.

Gagasan pajak dosa ini sebenarnya sudah diberlakukan di beberapa negara. Inggris, misalnya, sejak April 2019 telah menaikkan tarif pajak untuk produk-produk yang mengandung kadar gula, garam dan lemak yang tinggi. Kebijakan ini bertujuan untuk memerangi obesitas pada anak di negara tersebut.

Kalau memang dianggap menyebabkan obesitas dan perlu diperangi, kenapa tidak sekalian saja melarang penggunaan gula, garam dan lemak?

Demikianlah logika pajak dosa, ia dianggap sebagai biaya penebus dosa yang sebenarnya tidak dosa juga. Ah, begitulah.

Perihal kebijakan negara, rasanya kita perlu belajar kepada Brazil. Beberapa waktu lalu, Menteri Perekonomian Brazil, Paulo Guedes, berencana memberlakukan kenaikkan tarif pajak terhadap beberapa barang konsumsi yang dianggap tidak sehat seperti bir, makanan manis dan rokok. Rencana ini kemudian ditolak keras oleh Presiden Brazil, Jair Bolsonaro. Ia menyebut ide ini tidak bisa dijalankan.

Baca Juga:  Konsumen Rokok Harus DIlibatkan Dalam Perumusan Kebijakan

“Itu tidak dapat dilakukan, kami tidak bisa menambah beban pajak di Brasil. Semua orang mengkonsumsi gula setiap hari, jadi pajak tidak bisa ditingkatkan,” tegas Bolsonaro.

Dari pernyataannya kita bisa lihat bahwa Bolsonaro, sebagai pimpinan tertinggi di Brazil, menjadikan kepentingan rakyat mayoritas sebagai orientasi utama pengambilan kebijakan. Gagasan tentang pajak dosa tak juga bisa menganulir kepentingan rakyatnya. Untuk apa pendapatan besar kalau akhirnya rakyat kesulitan?

Rakyat adalah tuan, bukan ladang penghasilan bagi negara. Dari Brazil kita belajar, bahwa mencari pendapatan sebesar-besarnya dari pungutan pajak dosa tanpa memperhatikan nasib mayoritas rakyat yang dirugikan, adalah sebuah kecerobohan–untuk tidak menyebut kebodohan.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd