Press ESC to close

Gugatan Pedagang Rokok Terhadap Perda KTR Bogor Berpotensi Meluas di Kota Lainnya

Perda KTR Bogor menuai gugatan (judicial review) yang cukup serius dari sejumlah pedagang dan retail rokok di Kota Bogor. Pasalnya pada Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok tersebut memuat pelarangan memajang rokok, sehingga berdampak merugikan sektor usaha pedagang rokok. Proses uji materil yang dilayangkan para pedagang rokok ini tinggal menunggu kepastian dari Mahkamah Agung.

Banyak kalangan menyebutkan proses Judicial Review tersebut merupakan langkah yang tepat. Mengingat kebijakan publik berupa peraturan daerah tersebut seharusnya lebih mempertimbang kepentingan publik, jika itu malah berakibat merugikan, apalagi sampai mengebiri hak ekonomi masyarakat. Iya memang sudah selayaknya digugat melalui jalur konstitusional.

Sebagaimana yang pernah Komunitas Kretek angkat, penerapan Perda KTR Bogor nomor 10 Tahun 2018 ini telah menimbulkan keresahan bagi para pelaku usaha rokok di Bogor. Banyak retail terpaksa harus menutup display rokoknya dengan tirai, atas landasan peraturan daerah tersebut. Tentu saja itu bertentangan secara substantif dengan PP 109/2012 sebagai aturan yang lebih tinggi dari Perda KTR. Artinya, tafsir atas perlindungan hak masyarakat yang melandasi Perda KTR itu justru kebablasan. Lebih jauh justru mengancam sumber ekonomi para pelaku usaha yang bergantung dari produk legal rokok.

Sebagaimana kita ketahui, sejak lalu Walikota Bogor ini termasuk sosok yang kelewat lebay dalam menerapkan aturan tentang Kawasan Tanpa Rokok. Dalih meningkatkan derajat kesehatan masyarakat kok ya cuma produk rokok yang disasar. Padahal masih banyak persoalan kesehatan di masyarakatnya yang jauh lebih penting diperhatikan. Bahkan tanpa riskan dia menyatakan tujuannya agar perokok ‘tersiksa’ dengan penerapan KTR ini. Apa bisa disebut waras tuh Walikota?

Baca Juga:  Benarkah Asap Rokok Mengandung Virus Corona?

Jika kita tilik lebih lanjut, tafsir atas Perda  KTR yang dikawal oleh pemerintah daerah di beberapa kota lainnya juga ada yang kelewat lebay. Tak jauh dari Kota Bogor, ada Kota Depok yang menerapkan tindakan serupa. Dalihnya agar anak di bawah umur tidak terhasut untuk merokok,  Pemkot Depok melarang retail rokok menampilkan produk rokoknya. Lha, para penjual rokok kan sudah taat asas, memberi tanda wajib 18+ pada media pajangnya, pula tak melayani anak di bawah umur yang membeli rokok. Masih harus mengikuti aturan menutup display rokoknya dengan kain, kan lebay.

Pemkab Kulon Progo, Jogjakarta, tak jauh beerbeda. Melakukan penekanan untuk tidak memajang rokok kepada retail rokok di daerahnya. Lagi-lagi ini tafsir terhadap Perda KTR yang kelewat lebay. Parahnya, etalase rokok harus diblokade dengan pesan kesehatan masyarakat yang menyebutkan bahaya rokok. Waduh, kok kampanye (iklan) kesehatan malah mendompleng di etalase rokok. Absurd.

Tafsir lebay atas Perda KTR yang terjadi di berbagai kota ini sangat mungkin akan meluas di banyak daerah. Sudah jelas-jelas keliru, untuk tidak menyebutnya konyol, lantaran aturan tersebut tidak taat asas hukum di atasnya, yakni PP 109/2012. Sehingga berimplikasi merugikan pelaku usaha, yang secara langsung telah terjadi pengebirian hak ekonomi masyarakat. Akibat yang ditimbulkan adalah ketidakpastian iklim usaha dan mencederai rasa keadilan di masyarakat.

Baca Juga:  Tetap Bertahan Bersama Cengkeh

Kondisi ini disinyalir akan berdampak lebih jauh lagi, yakni munculnya gejolak sosial di mana-mana. Bukan mustahil, gugatan terhadap Kota Bogor akan terjadi pula di kota-kota lainnya yang kelewat lebay dalam menerapkan Perda KTR. Pada gilirannya para pedagang rokok akan bersatu melayangkan proses Judicial Review ke Mahkamah Agung, sehingga nantinya para pejabat daerah itu akan malu sendiri lantaran apa yang mereka lakukan adalah tindakan cacat hukum yang telah mengancam ekonomi masyarakat.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah