Press ESC to close

Menolak FCTC, Menolak Intervensi Asing

Isu soal aksesi Framework Convention Tobacco Control (FCTC) kembali menguat belakangan ini. Faisal Basri, pengamat ekonomi dan politik Indonesia, menyebut bahwa Indonesia harusnya malu menjadi satu dari tujuh negara di antara Somalia, Malawi, Eritrea, Andorra, Liechtenstein, dan Monako yang belum meratifikasi FCTC. Menurutnya, aksesi FCTC adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah jika benar-benar peduli pada rakyatnya. Pertanyaannya: rakyat yang mana?

Dalam susunan argumentasinya, Faisal Basri mengusung logika yang serupa dengan Fadjroel Rachman beberapa waktu lalu. Mereka sama-sama menggunakan data kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai salah satu alasan mengapa rokok harus ‘dimatikan’.

“Pemerintah pun sangat mengetahui betapa pengeluaran orang miskin untuk rokok sangat besar, kedua setelah beras. Pengeluaran untuk rokok hampir sama dengan gabungan pengeluaran pemenuhan protein dari tahu, tempe, daging ayam dan telur ayam. Rokok nyata-nyata memiskinkan,” katanya.

Pandangan semacam ini tentu tak perlu ditanggapi terlalu serius. Gak mungkin juga kita berhenti makan nasi hanya karena beras ada di urutan pertama. Kita sama-sama tahu bahwa berhenti merokok tidak akan serta-merta mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan adalah persoalan struktural yang harus diselesaikan dengan formulasi lebih dari sekadar himbauan berhenti merokok. Dan negara bertanggung jawab untuk itu.

Selanjutnya, Faisal Basri menyebut Indonesia adalah surga bagi industri rokok. Pria bernama lengkap Faisal Batubara ini menilai konsumsi rokok relatif mudah dan murah, di samping guyuran iklan di ruang terbuka, televisi, dan media sosial.

Baca Juga:  Sibuk Soal Rokok, YLKI Kendor Melakukan Pemberdayaan Konsumen

Entah negara mana yang sedang ia bicarakan. Sejauh yang saya tahu, harga rokok mahal, iklan rokok pun mulai dilucuti di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan etalase rokok di toko ritel kini mulai ditutupi tirai demi menyembunyikan visual rokok. Jam tayang iklan rokok serta ruang yang tersedia pun diregulasi ketat. Lantas, apanya yang mudah dan murah?

Selain itu, Faisal Basri juga menyinggung soal prevalensi perokok khususnya anak. Anak-anak itu adalah perokok pemula korban dari abainya negara melindungi mereka dari penetrasi luar biasa industri rokok, katanya.

Bahwa negara tidak boleh abai, saya sepakat. Tapi, menanggapi fenomena anak merokok dengan ide mengaksesi FCTC adalah gagasan yang, aduh, kejauhan.

Dalam hal anak merokok, pengawasan serta edukasi tentu jadi hal yang perlu dikedepankan. Di sini orang tua memainkan peranan penting, tak perlu FCTC. Anak perlu tahu bahwa mereka boleh merokok, kelak ketika mereka sudah berusia 18 tahun. Orang dewasa pun perlu lebih sadar ruang agar tidak merokok dekat anak.

Sekali lagi, dari semuanya itu Faisal Basri menilai bahwa aksesi FCTC adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah jika benar-benar peduli pada rakyatnya.

“Sudah ada 183 negara di dunia yang meratifikasi FCTC. Kami nggak mau sekedar ikut-ikutan tren atau karena banyak negara yang telah meratifikasi FCTC. Kita harus betul-betul melihat kepentingan nasional Indonesia” ~ Presiden Joko Widodo, 2016

Dengan menggunakan isu kontemporer yang dimodifikasi dengan isu kesehatan, FCTC membawa kepentingan besar bagi bisnis nikotin yang dikelola oleh korporasi farmasi global. Bagi saya, dengan tidak mengaksesi FCTC pemerintah justru menunjukan keberpihakan pada masyarakat lintas sektor (petani, buruh, pedagang, dll) di rantai pertembakauan Indonesia. Indonesia harusnya bangga karena menjadi satu-satunya negara di Asia yang bertahan tidak mengaksesi FCTC.

Baca Juga:  House Of Sampoerna Surabaya: Mengabadikan Sejarah Rokok Kretek

Lagipula, poin pengendalian tembakau sudah termanifestasikan dalam banyak regulasi di negeri ini. Regulasi yang ada saat ini saja sudah berpotensi mematikan keberadaan industri hasil tembakau, apalagi jika kepentingan global diakomodasi.

Indonesia adalah negeri kretek, dan tembakau adalah salah satu kekuatannya. Jadi, sudah sepatutnya kita berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam budaya dengan mengelola semua manfaat dan kebaikan dari tembakau, daripada menyerahkan diri pada intervensi asing berwujud FCTC.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd