Perda KTR pada penerapannya di banyak daerah masih jauh dari yang diharapkan. Pasalnya, hal itu tidak selalu dibarengi dengan ketersediaan ruang merokok. Seperti yang diterapkan di Kabupaten Tangerang. Pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok malah disertai dengan pembentukan Satgas KTR. Secara umum fungsi kerja Satgas tersebut seolah-olah hanya akan mengkriminalisasi perokok.
Wakil Bupati Tangerang, Mad Romli, pada kesempatan yang lalu menekankan, nantinya akan ada penerapan sanksi dan denda bagi pelanggar KTR. Implikasi pernyataan Wabup Tangerang ini mengarah pada agenda menjaring pelanggar KTR untuk kemudian disidangkan. Artinya perokok yang melanggar ketetapan KTR akan diperlakukan layaknya pesakitan.
Upaya semacam ini tidak jauh berbeda dengan yang diberlakukan di sejumlah daerah lainnya. Seperti yang terjadi di Kota Bogor. Penerapan Perda KTR diisyaratkan untuk memberi ‘siksaan’ kepada perokok. Sejak jauh hari, landasan terkait Kawasan Tanpa Rokok adalah untuk melindungi masyarakat yang tidak merokok agar tidak terpapar asap rokok. Namun landasan ini kerap kali pula dibayang-bayangi narasi kesehatan, yang mencap rokok sebagai biang kerok segala penyakit di masyarakat.
Rokok dalam pandangan rezim kesehatan menjadi produk yang wajib dimusuhi. Sehingga banyak upaya yang dilandasi narasi kesehatan berujung pada skema pendiskreditan rokok, bahkan mengarah pula mendiskreditkan konsumennya. Walhasil, pada penerapan produk kebijakan tentang rokok tidak pernah adil dalam memporsikan hak bagi semua golongan. Rokok memang produk yang memiliki faktor risiko, untuk itu perlu dibangun kesadaran serta edukasi agar aktivitas merokok tetap dilandasi etika moral, bukan atas dasar isu kesehatan.
Jika pelarangan dan pembatasan produk konsumsi dilandasi isu kesehatan, iya mestinya produk lain selain rokok juga akan diberlakukan sama. Dari sini tentu kita mendapatkan satu kesimpulan, bahwa produk konsumsi berupa rokok dikondisikan untuk terus diperangi, bagi mereka yang termakan isu kesehatan.
Lebih lanjut soal penerapan KTR Tangerang, terdapat dua hal yang tidak menjadi perhatian otoritas. Pertama, soal metode edukasi di masyarakat. Jika memang mau mendidik publik agar menghargai adanya KTR, tidak perlu itu dibentuk Satgas dan wacana sanksi-denda. Fungsikan saja elemen yang sudah ada dan representatif dalam hal edukasi.
Kedua, penerapan KTR tanpa dibarengi ketersediaan area khusus merokok yang manusiawi, itu artinya tidak memberi rasa keadilan bagi semua lapisan masyarakat. Biar bagaimanapun, rokok adalah produk legal, tak sepantasnya didiskriminasi. Perokok tidak akan menolak diatur kok, jika secara inklusif difasilitasi aktivitasnya, iya itu tadi salah satu upaya inklusifnya sediakan area merokok di tempat-tempat yang memang sepatutnya tersedia. Tujuannya jelas, selain untuk meminimalisir pelanggar KTR, perokok pun merasa mendapatkan haknya. Itu.
Jangan sampai maksud baik dari Perda KTR sebagai produk kebijakan yang berasaskan perlindungan untuk semua masyarakat menjadi kontraproduktif di masyarakat. Nah, sebagai bagian dari perokok santun, saya pribadi menyesalkan kenapa dalam berbagai upaya penerapan KTR di banyak derah, tidak mengedepankan metode edukasi. Seperti yang dilakukan Komunitas Kretek selama ini, berbagi informasi secara egaliter sekaligus membangun kesadaran publik, agar yang tidak merokok juga terpahami dan yang perokok semakin berkesadaran. Maka itu dengan mengulungkan etos perokok santun adalah salah satu cara yang masuk akal.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024