Press ESC to close

PHK Massal dan Buruknya Pengelolaan Perusahaan Rokok Asing di Indonesia

Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal dalam industri hasil tembakau (IHT) kini sudah ada di depan mata. Kasus terbaru adalah di-PHKnya 800 buruh yang bekerja di PT Karya Dibya Mahardika sebagai produsen rokok bermerk Apache. Meski sebagian besar saham PT Karya Dibya Mahardika dimiliki oleh pabrikan asing, yaitu Japan Tobacco International, namun kebijakan PHK tetap dipilih sebagai bentuk penyelamatan perusahaan dari kebangkrutan.

Mirisnya, ketika perusahaan rokok nasional tengah berjuang dari ancaman kerugian, justru perusahaan rokok yang disokong oleh dana dari asing malah menjadi industri yang terdahulu melakukan pemutusan kerja.

Kasus di atas membuktikan bahwa peralihan saham kepada kepemilikan perusahaan asing justru tak mampu menyehatkan sebuah industri, atau setidaknya menyelamatkan karyawannya dari ancaman PHK. Kucuran dana segar yang berlimpah tetap saja membuat sebuah perusahaan harus berjuang menghadapi dinamika ekonomi, khususnya industri tembakau di Indonesia.

Seperti yang kita ketahui, PT Karya Dibya Mahardika diakuisisi oleh Japan Tobacco Indonesia dengan dana sebesar USD 677 Juta atau setara dengan Rp 9 triliun. Dengan catatan, angka tersebut digunakan oleh Japan Tobacco Indonesia untuk mengakuisisi dua pabrik sekaligus yaitu PT Karya Dibya Mahardika dan PT Surya Mustika Nusantara.

Corporate Affairs & Communications Director PT Karya Dibya Mahardika, Fajar Utomo mengutarakan alasan PHK massal ini adalah restrukturisasi bisnis dan efisiensi. Lebih lanjut Fajar menjelaskan bahwa sejak Japan Tobacco International mengakuisisi perusahaan tempat ia bekerja, hal tersebut tak mampu menyelamatkan perekonomian perusahaan di tengah kondisi IHT yang tengah turun. Ternyata, investasi besar yang dilakukan perusahaan rokok asing sebenarnya belum tentu menyelamatkan perusahaan rokok di tanah air. Apalagi diperparah dengan kebijakan yang dipilih yaitu memutus hubungan kerja karyawannya secara massal.

Baca Juga:  Tim Pemantau Perokok Bukan Solusi

Jika kita menilik lebih jauh pada 2014 lalu, kasus serupa pun terjadi pada PT HM Sampoerna, akan tetapi dengan kuantitas yang lebih besar. Saat itu, ada sekitar 4.900 karyawan PT HM Sampoerna yang dirumahkan alias diberhentikan kerja. Bisa dikatakan, ini adalah angka PHK massal terbesar dalam sejarah IHT di Indonesia. Padahal, kita juga sama-sama tahu bahwa PT HM Sampoerna disokong oleh industri rokok besar asal Amerika Serikat, Phillip Morris. Nilai akuisisinya pun tak main-main kala itu, dilansir dari detik.com angka sebesar USD 5,2 miliar digunakan untuk membeli PT HM Sampoerna.

Tak berhenti di situ, PT Bentoel Internasional Investama yang berdiri dimiliki oleh British American Tobacco (BAT) juga akan memutus hubungan kerja sejumlah 2.300 karyawannya. Sebagai catatan, kebijakan ini akan ditempuh oleh British American Tobacco dalam rangka perampingan struktur organisasi.

Wacana awalnya, kebijakan PHK oleh BAT ini akan dilakukan pada Januari 2020 kemarin. Akan tetapi hingga kini, setelah ditelusuri, belum ada kabar terbaru mengenai desas-desus tersebut. Tentu ini adalah hal yang tak baik untuk para karyawannya yang harus bekerja di bawah bayang-bayang isu PHK massal.

Baca Juga:  Sejarah Sampoerna, dari Industri Rumahan Jadi Perusahaan Internasional

IHT di Indonesia memang diprediksi oleh pakar ekonomi akan lesu di 2020 ini, salah satu faktor kuatnya adalah naiknya tarif cukai rokok secara progresif. Bayang-bayang PHK memang menjadi satu keniscayan dari lesunya konsumsi sebuah produk. Akan tetapi, langkah strategis sebuah perusahaan perlu dipikir secara maksimal, agar kemudian tidak mengorbankan karyawan mereka.

Mirisnya, langkah yang instan, sebut saja PHK massal, sudah dilakukan terlebih dahulu oleh perusahaan rokok yang justru dimiliki oleh investor asing. Sebuah tanda bahwa sebenarnya investasi asing dengan kucuran dana yang berlimpah sebenarnya bukan jadi satu kepastian bahwa perusahaan tersebut akan maju dan berkembang di pasaran. Sebaliknya, masih banyak juga perusahaan rokok lokal yang masih bertahan dan menjadikan PHK karyawannya di tengah lesunya pembelian produk mereka sebagai opsi terakhir.

Indi Hikami

Indi Hikami

TInggal di pinggiran Jakarta