Press ESC to close

Rekam Jejak Sri Mulyani si Menteri Pendukung FCTC

Suka atau tidak, Sri Mulyani adalah salah satu menteri yang paling disegani dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Selama menjabat, Ia menjadi salah satu menteri yang paling terlihat baik kinerjanya. Namun pada konteks kebijakan soal rokok, namanya tak akan pernah harum setelah dirinya ketahuan menjabat di satuan kerja pengendalian tembakau yang salah satu agendanya tentu saja mendorong FCTC.

Hingga hari ini memang Indonesia belum, atau memang sebaiknya tidak akan pernah, menandatangani kerangka kerja pengendalian tembakau dari WHO ini. Didorong sekeras apapun, alhamdulillah, negara ini masih sanggup menjalani hidup tanpa intervensi kebijakan pengendalian tembakau. Walau begitu, ancaman nyata dari FCTC masih terus ada dan makin terlihat setelah Sri Mulyani menjabat jadi Menteri Keuangan.

Sekadar informasi, sejak tahun 2006, Menteri Keuangan yang satu ini memang sudah teramat sering mendorong agar FCTC, atau setidaknya poin aturan di dalamnya diterapkan di Indonesia. Pada rapat pembahasan RUU Cukai bersama DPR RI, Sri Mulyani pernah mendorong tarif cukai minimal 65% dari harga jual eceran sesuai dengan kebijakan FCTC. Parahnya, hal ini dilakukan dengan alasan ‘agar tidak dikucilkan dari masyarakat in ternasional’.

“Pencantuman tarif maksimal 65 persen agar Indonesia tidak mendapat sanksi atau dikucilkan dari masyarakat internasional,” ujar Sri Mulyani pada 7 Juni 2006.

Baca Juga:  Kebakaran Akibat Rokok, Sebuah Tren Baru di Masyarakat

Beruntung, kala itu Panitia Khusus RUU Cukai tidak mengikuti kemauan FCTC, eh maksudnya kemauan Sri Mulyani terkait persentase tarif cukai. Toh, beberapa saat setelahnya, Sri Mulyani harus mundur dari kabinet dan ‘ditarik’ menjadi petinggi Bank Dunia. Jadi, kebijakan soal cukai tidak ngaco-ngaco banget lah.

Ketika pada akhirnya mudik dan menjabat lagi sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani tetap menjadi dirinya yang kejam terhadap penerimaan negara. Dari mana pun sumbernya, yang penting kas negara terisi dan pemerintah bisa jalankan pembangunan. Karena itulah ditarik pungutan cukai dengan kenaikan tarif yang lumayan tinggi dari tahun demi tahun, hingga pada tahun 2018, tarif cukai tidak naik.

Sekilas, jika dibaca melalui pernyataan-pernyataannya di media, kebijakan tidak menaikkan tarif cukai untuk tahun 2019 adalah sesuatu yang pro rakyat. ‘Dengan mempertimbangkan kesehatan, industri, tenaga kerja dan penerimaan negara’, kebijakan cukai tahun itu mendapat sambutan dari masyarakat. Satu hal yang, tentu saja, dibutuhkan Presiden Jokowi sebagai upaya untuk menang Pemilu Presiden di tahun yang sama.

Hal ini terbukti setelah akhir tahun lalu, pemerintah melalui Menkeu memastikan kenaikan tarif cukai yang begitu-teramat-sangat tinggi, di kisaran 21%. Kebijakan ini jelas sangat berbanding terbalik dengan pernyataan di tahun sebelumnya. Kali ini, perlindungan terhadap anak menjadi bahan alasan Sri Mulyani untuk menaikkan tarif cukai setinggi mungkin.

Baca Juga:  Perang Nikotin Kapitalisme Obat Global

Jika kemudian Anda mempertanyakan kenapa sikap Sri Mulyani menjadi plin-plan begini di akhir tahun lalu, sebenarnya ini bukanlah hal baru dan tidak perlu menjadi terkejut. Toh, saat ini dirinya juga masih menjabat sebagai anggota Gugus Tugas Kebijakan Fiskal untuk Kesehatan (The Task Force on Fiscal Policy for Health) Bloomberg Philantropies. Tujuannya, tentu saja pengendalian tembakau berkedok FCTC.

Jadi tidak perlu terlalu terkejut kenapa menteri macam begini bisa berlaku begitu. Toh sejak awal sudah terlihat jika kebijakan-kebijakan yang diambilnya semua berdasar kepentingan. Kini, ketika Ia makin gencar mendorong agar FCTC diratifikasi, pilihan kita sebenarnya hanya dua; diam ditindas atau bangkit melawan. Ya mending kita lawan lah, buat apa punya Menteri Keuangan yang jadi kaki tangan kepentingan asing.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit