Press ESC to close

Terancamnya Kedaulatan Sebuah Bangsa Yang Terberkati Tanah Subur Karena FCTC

Cerita kemandirian dalam bersikap pejabat negara di periode awal republik ini berdiri sungguh masyhur, seumpama tidak boleh menggunakan kata mengagumkan. Dari mulai “urusan kecil” seperti merokok yang dilakukan oleh Agus Salim di ruang-ruang VIP kelas dunia hingga bagaimana Soekarno mengaum garang kalau sudah membicarakan kapitalisme. Hal yang oleh Soekarno pernah dibahasakannya sebagai fase terakhir dari imperialisme.

Agus Salim saat mewakili pemerintah dalam penobatan Ratu Elizabeth II di Buckingham Palace, 1953, terlihat melakukan ritual yang kalau menurut orang sekarang tidak sopan, merokok di tempat umum! Konon New York Times sampai memberitakan peristiwa tersebut.

Di banyak sumber yang sudah seperti ‘urband legend’, seorang pria yang diduga Pangeran Philip, Duke of Edinburgh, sampai penasaran dengan wangi semerbak yang bersumber dari kepulan asap rokok the grand old man. Kesejukan London di awal Juni 1953 tentu membuat aroma nyegrak dari kombinasi tembakau dan cengkeh tersebut semakin menjadi, dan membuat “sang pangeran” tidak tahan untuk bertanya.

“Rokok apa yang sebenarnya anda hisap itu, Tuan?”

Agus Salim menjawab serius tapi santai, “Yang Mulia, inilah yang membuat bangsa barat ingin menguasai dunia. Ada cengkeh di dalamnya. Rempah yang membuat bangsa barat berebut menguasai Indonesia.”

Sulit tentu saja memverifikasi percakapan tersebut persisnya bagaimana. Tetapi tidak ada yang pernah menyangsikan luasnya pergaulan Agus Salim sebagai seorang diplomat yang mempunyai pergaulan luas. Daya nalar serta kecakapan berdiplomasinya yang sangat tinggi selalu jadi cerita yang tak pernah usang untuk diulang dan dibagikan hingga saat ini.

“Apa sebenarnya yang hendak saya ceritakan? Dulu bebas merokok sekarang tidak? Sesempit itukah pembacaan kita?”

Sekarang situasi dunia terkesan sudah membaik; sopan santun dijunjung tinggi, para perokok ditempatkan di ruang khusus agar tau diri, iklan dibatasi, dan penjualan tembakau dan turunannya di lokapasar beberapa bulan ini sudah dihentikan. Tidak ada lagi cerita seorang diplomat ngebul di acara-acara resmi kenegaraan. Tidak ada lagi adegan para pemimpin dunia di pertemuan-pertemuan puncak saling menyalakan korek dan tukar menukar rokok. Tidak ada lagi pewarta foto mendapat suguhan yang manusiawi tersebut, karena pemimpin diharuskan memelihara citra bersih.

Baca Juga:  Rokok dan Perokok: Dihujat Tapi Dirindukan Manfaatnya

Pemanfaatan ruang publik memang sudah selayaknya dikompromikan. Orang yang tidak merokok tentu saja diberikan prioritas lebih dibandingkan yang merokok. Etikanya begitu. Mereka mempunyai hak untuk menghirup udara bersih tanpa asap rokok. Sebenarnya, kalau mau naik level lagi, mereka juga seharusnya menuntut tidak ada asap kendaraan di jalanan lagi, terlalu banyak material beracun yang sama sekali tidak baik untuk kesehatan.

Ini bukan satire atau hendak mengajak debat kusir bahwa orang yang tidak merokok sejatinya tanpa sadar juga menimbulkan polusi yang tidak kalah bahayanya. Tidak juga mengampanyekan bahwa merokok sama sekali tidak merugikan kesehatan. Sama sekali bukan. Tetapi sadarkah kita adanya upaya sistematis yang mungkin orang tidak paham soal Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)? Satu traktat yang berisi persetujuan negara yang menandatanganinya agar patuh pada kerangka kerja yang berisi pengendalian tembakau secara ketat, tidak saja menurunkan jumlah konsumsinya tetapi juga ada kecenderungan untuk menghentikan produksinya.

Seandainya Indonesia meratifikasi atau dengan kata lain mengadopsi secara penuh perjanjian tersebut, negeri ini tak ubahnya seperti dipaksa menelan pil pahit lagi beracun. Konsekuensinya bukan semata kebiasaan merokok yang habis, masyarakat yang lebih sehat dan produktif, dan ruang publik terbebas dari paparan asap dan iklan visual yang meracuni generasi penerus. Tetapi hilangnya kedaulatan kita sebagai bangsa yang mempunyai faktor endowment, anugerah berupa hamparan tanaman dari mulai tembakau hingga cengkeh yang nilainya sangat tinggi dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Jadi bukan kebiasaan merokok bebas seperti dulu yang kita inginkan kembali seandainya Indonesia berani menolak meratifikasi FCTC. Tetapi kemandirian kita sebagai bangsa yang mampu berdaulat penuh dalam memanfaatkan segala yang tumbuh di atasnya lah yang perlu diperjuangkan.

Baca Juga:  Menjajaki Lampung Sebagai Daerah Penghasil Tembakau

Undang-undang No. 39 Tahun 2014 tentang perkebunan mengamanatkan dengan pasti hal tersebut.

Tembakau bersama beberapa tanaman perkebunan lain disebutkan secara jelas sebagai komoditas strategis. Tujuan penyelenggaraannya pun jelas, untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sederhananya, negara secara tidak langsung telah menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha. Fakta yang tidak akan pernah bisa dipungkiri, kontribusi terhadap pendapatan negara melalui cukai pada tahun 2019 terhitung fantastis 157 Trilyun.

Nilainya sangat jauh di atas hasil tambang. Itu baru dari cukai, belum bicara angka pengganda dari keberadaan tembakau dalam menggerakkan perekonomian. Keunggulan lainnya tidak eksploitatif dan merusak lingkungan seperti halnya tambang, dimana untuk mengusahakannya harus mengorbankan jasa lingkungan. Hutan di atasnya hilang jika lokasi tambang tersebut di kawasan hutan, banyak bekas tambang dibiarkan saja tanpa ada upaya untuk mereklamasinya.

Kekhawatiran Soekarno saat mengingatkan bahaya kapitalisme yang berujung pada imperialisme, akan terbukti seumpama Indoensia mengambil keputusan meratifikasi FCTC. Sesama anak negeri dibenturkan dalam perang melawan tembakau, cukai rokok dikerek terus sampai batas psikologis orang tidak mampu membelinya, orang dipaksa mengalihfungsikan lahan tembakau, industri hasil tembakau redup kemudian mati, dan kalau masih mau jadi petani akhirnya dipaksa menanam komoditas yang tidak saja merusak lingkungan tetapi juga bakal mengurangi kesejahteraan yang diterima seperti selama ini.

Kemudian cara atau propaganda apa saja yang dilancarkan agar FCTC tersebut disepakati? Nantikan lanjutannya. Tentu kalau ada waktu.

Haryo Setyo Wibowo

Konsultan Ekonomi Partikelir