Press ESC to close

Cukai Melambung, Pemerintah Abai Pada Nasib Buruh 

Tarif cukai rokok yang terus naik tiap tahun berdampak luar biasa. Petani tembakau kebingungan karena hasil panennya tidak sepenuhnya terserap. Pabrikan mau tidak mau juga harus ‘merumahkan’ beberapa pegawainya demi stabilitas ongkos produksi. Akibatnya buruh juga mulai was-was terhadap masa depan pekerjaan mereka, dan konsumen harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli sebungkus atau sebatang rokok. Saya tidak bisa membayangkan kondisi saat pemerintah terus memaksakan tarif cukai rokok naik progresif di tahun mendatang.

Sebagai seorang konsumen tentu saya bisa memilih untuk bersikap bodo amat dengan kondisi tersebut. Bisa memilih untuk membeli rokok yang lebih murah, tingwe, atau berhenti merokok. Tapi sebagai seorang manusia yang juga punya jiwa sosial tentu saya tidak bisa cuek bebek. Setiap bungkus yang kita beli ada senyum merekah dari para buruh pabrik rokok. Kemampuan kita untuk membeli rokok sudah tentu setidaknya membuat malam-malam para buruh menjadi tenang karena industri tetap berjalan dan mereka masih bisa bekerja di esok hari, tentu juga mendapatkan gaji di tiap bulannya.

Tahun 2020 pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23% sedangkan harga jual eceran naik menjadi 35%. Akibatnya yang terjadi adalah saya melihat banyak pemecatan pegawai, salah satunya adalah yang dilakukan oleh PT. Karya Dibya Mahardika (KDM) di Pasuruan yang memproduksi rokok bermerk Apache. Tidak tanggung-tanggung, Senin, 3 Februari 2020 kemarin mereka merumahkan sekitar 2000 karyawan akibat dari menurunnya produktivitas pabrik. Sudah pasti ini akibat dari naiknya tarif cukai yang diberlakukan pemerintah.

Baca Juga:  Menghubung-hubungkan Rokok dengan Kemiskinan

Pemerintah tak punya alasan yang kongkrit dalam menaikan tarif cukai. Satu yang pasti, yang sering dikemukakan ke depan publik adalah masalah kesehatan. Klise! Alasan klise yang tidak masuk akal diambil tapi kemudian mengabaikan banyak hal buruk yang terjadi.

Salah satunya adalah PHK massal. Data Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) menunjukkan selama sepuluh tahun terakhir ada 63.000 karyawan/pekerja rokok terpaksa kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, jumlah industri berkurang drastis dari 4.700 perusahaan menjadi sekitar 700 pada 2019 dan yang aktif pesan pita cukai sekitar 360 perusahaan.

Angka yang cukup membikin bulu kuduk berdiri, bukan? Di sisi lain pemerintah melalui Kementerian Perindustrian selalu mengumbar bahwa industri rokok mampu menyerap banyak tenaga kerja. Dua wajah berbeda yang ditunjukkan pemerintah dan sangat kontradiktif. Membangga-banggakan rokok tapi di sisi lain tak mampu memberi jaminan yang jelas terhadap para buruh yang selama ini berkontribusi besar pada pembangunan negara.

Tepat kemudian jika buruh menyuarakan kegelisahan ini. FSP RTMM-SPSI menjadi salah satu kelompok yang bersuara akan ketidakmampuan pemerintah melindungi mereka. Jelas saja, bagi mereka kebijakan pemerintah untuk menaikan harga jual eceran (HJE) cukup meresahkan para buruh. Belum lagi wacana tentang rencana revisi PP No 109/2012 hingga rencana yang digulirkan pemerintah terkait ekstensifikasi cukai. Jika itu terjadi maka akan berapa banyak buruh yang harus dirumahkan?

Baca Juga:  Kota Solo yang Kian Tak Ramah Bagi Perokok

Jika pembangunan dan perbaikan ekonomi yang selama ini gencar dikampanyekan oleh pemerintah bisa berjalan, maka selamatkanlah para buruh. Bisa dimulai dengan membuat regulasi yang mampu melindungi mereka. Setidaknya jangan membuat atau merevisi regulasi tentang pertembakauan yang justru berdampak buruk pada industri hasil tembakau itu sendiri.

Sudahi ego kekuasaan atau dalil-dalil busuk tentang kesehatan. Kami memaklumi bahwa tarif cukai harus mengikuti kondisi ekonomi suatu bangsa agar tak tercipta inflasi. Namun demikian, menaikkan tarif cukai secara progresif di tahun mendatang berarti ada ego pemerintah yang dipaksakan. Jika industri hasil tembakau hancur begitu juga dengan para pekerja yang dirumahkan, maka mimpi buruk untuk Indonesia karena salah satu roda ekonominya hancur akibat kebijakan yang salah.

Indi Hikami

Indi Hikami

TInggal di pinggiran Jakarta