Press ESC to close

Duri Dalam Daging dan Mitos Rokok Murah di Indonesia

Harga rokok di Indonesia itu mahal, dan hanya ada dua kelompok yang  masih menyatakan kalau harga rokok murah; antirokok dan orang berduit. Antirokok jelas, mereka harus memainkan wacana harga rokok murah. Kalau orang berduit, ya namanya punya uang, dengan penghasilan yang besar angka Rp 30 ribu per bungkus sih bukan masalah buat mereka.

Bagi antirokok, harga rokok harus dianggap murah. Selama ini wacana soal rokok memiskinkan, berada di posisi kedua penyebab inflasi, dan dikonsumsi oleh banyak orang miskin adalah bagian dari kebutuhan perang mereka. Walau kemudian, seorang pengamat pajak dan ekonomi telah membantah asumsi rokok murah di Indonesia.

Adalah seorang Prastinus Yustowo yang menyatakan kalau harga rokok di Indonesia sudah mahal. Malah, harga rokok di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia. “Kalau dilihat dari pendapatan per kapita, harga rokok kita sudah termasuk tertinggi di dunia,” kata Yustinus dilansir dari CNN Indonesia.

Pada konteks ini, jelas bahwa harga rokok di Indonesia sebenarnya mahal secara nilainya. Memang, secara angka, harga rokok di Indonesia terkesan murah. Namun jika dilihat berdasar pendapatan per kapita masyarakat dan nilai yang bisa didapat dari angkat tersebut, harga rokok di Indonesia nyatanya sebegitu mahal buat masyarakat.

Baca Juga:  Menaikkan Cukai Bukan Solusi Permasalahan Tembakau di Indonesia

Ketika tarif cukai dan harga rokok naik, masyarakat banyak beralih ke rokok yang lebih murah. Istilahnya, turun kelas. Ada juga perokok yang beralih ke tingwe, melinting sendiri tembakau dengan cengkeh. Dari sini bisa terlihat, perokok tidak memaksakan diri untuk membeli produk yang tak mampu mereka jangkau. Kalau harga rokok tidak terjangkau, cari alternatif yang lebih murah.

Bagi masyarakat kelas menengah, membeli rokok golongan 1 adalah hal yang masih mampu mereka jangkau, ketika harga belum naik tapinya. Nah ketika harga naik, mereka beralih ke rokok yang lebih murah. Pun begitu dengan kelas masyarakat di bawahnya, ketika harga naik mereka beralih ke yang lebih murah; misalnya tingwe.

Sebenarnya keberadaan rokok dengah harga yang lebih murah daripada rokok golongan 1 sudah ada sejak dulu. Hanya saja, karena kebiasaan antirokok (yang kebanyakan kelas menengah) melihat rokok hanya di golongan atas saja, mereka jadi kaget ketika tahu ada rokok dengan harga yang lebih terjangkau. Beranglah mereka menyatakan regulasi dikangkangi oleh rokok murah yang bertebaran.

Baca Juga:  Ketika Gerakan Pramuka Salah Paham Soal Rokok dan Narkoba

Anggapan duri dalam daging, yang disematkan pada rokok di rezim Jokowi ini juga saya kira tidak tepat. Tanpa duit rokok (baca: cukai), rezim Jokowi mungkin tidak bisa selamat. Maksud saya, ada begitu banyak pembangunan yang dirancang pemerintah, tapi dengan ketersediaan anggaran yang tidak banyak, salah satu andalannya ya cukai hasil tembakau.

Jika rokok dianggap sebagai duri, dan hendak dicabut, maka pilihan yang paling tepat bagi pemerintah tentu bukan melakukan pengendalian atau pembatasan konsumsi. Duri tentu harus dicabut dan dibuang. Kalau mau, silakan saja ilegalkan rokok, tutup industri, dan larang tembakau ditanam karena mematikan. Kalau memang tidak berani, ya jangan asal tuduh begitu saja, mari kita cari solusi bersama atas persoalan ini.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit