Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk dukungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah menjadi ketetapan pemerintah yang memang semestinya memberi maslahat bagi masyarakat. Perlakuan baru atas DBHCHT ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 7/2020 dan diundangkan sejak 23 Januari 2020. Dalam ketentuan terbaru ini, 50 persen dari DBH CHT yang diterima pada tahun berjalan dan sisa DBHCHT tahun sebelumnya yang diterima oleh pemerintah daerah wajib digunakan untuk mendukung program JKN.
Dalam ketentuan yang dimaksud antara lain terkait penyediaan layanan kesehatan preventif dan rehabilitatif, penyediaan sarana prasarana fasilitas kesehatan bersama BPJS Kesehatan, pelatihan tenaga kesehatan bersama BPJS Kesehatan, pembayaran iuran jaminan kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah (PBI APBD), serta pembayaran tindakan pelayanan kesehatan bagi orang tidak mampu.
Di tengah daruratnya situasi nasional terkait penanggulangan pandemi Covid-19, Menkeu Sri Mulyani kemudian menerbitkan PMK nomor 19 tahun 2020 tentang penyaluran dan penggunaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Insentif Daerah dalam rangka penanggulangan corona virus disease 2019 (Covid-19). Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan ini mengacu pada PMK di atasnya. Artinya dalam konteks ini pemerintah akan melakukan penyesuaian sementara pada penyaluran dan penggunaan alokasi pembagian dana daerah tersebut.
Pemerintah daerah wajib menganggarkan belanja bidang kesehatan yang besarannya telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dalam APBD atau perubahan APBD. Belanja wajib bidang kesehatan tersebut diarahkan untuk kegiatan pencegahan atau penanganan Covid-19, hal ini tercantum dalam pasal 3 pada PMK nomor 19 tahun 2020. Tak hanya dari DBHCHT, pemanfaatan DBH SDA Migas yang ada dalam otonomi khusus, bisa digunakan pula sesuai ketentuan yang berlaku.
Prioritas untuk pencegahan Covid-19 ini telah menjadi perhatian yang terus diupayakan banyak pihak. Meski untuk beberapa hal, sebagian besar masyarakat mengkritisi sikap pemerintah yang cenderung lamban, termasuk dalam konteks pengalokasian DBH ini.
Berdasar catatan terakhir sudah 514 kasus terdeteksi, 29 suspect yang sembuh, dan 48 jiwa meninggal termasuk 6 dokter. Gambaran tambahan, Dinkes Kota Solo mencatat ada 2.795 ODP. Sementara rumah sakit pusat dan daerah banyak yang tidak siap menangani situasi ini. Sejumlah dokter dan tenaga medis pun tergerak melakukan penggalangan dana untuk menyikapi kondisi darurat tersebut. Mestinya, jauh sebelum memakan korban, pemerintah sudah harus lebih awal mengambil sikap.
Perlu diketahui lagi, dalam kondisi semacam ini tentu diperlukan sikap tanggap dan cepat yang harus dilakukan para pihak, iya terutama pemerintah. Bisa dengan berbagai cara. Dalam hal ini sudah banyak komunitas yang segera mengambil tindakan taktis pecegahan. Semua elemen masyarakat iya sudah semestinya tak hanya berdiam diri dalam menghadapi kebencanaan ini.
Ambil contoh seperti inovasi penyemprotan disinfektan yang diupayakan secara swadaya di daerah Kasihan, Bantul, Jogjakarta. Sampai pada upaya pendistribusian masker secara swadaya di sejumlah komunitas lainnya. Lepas dari adanya dikotomi masyarakat perokok ataupun bukan perokok yang lahir dari paradigma industri kesehatan.
Dari sini pemerintah mestinya lebih banyak belajar pada tindakan dan sikap kritis yang dilakukan masyarakat. Upaya Menkeu dalam mengarahkan alokasi DBH untuk penanganan Covid-19 boleh dikata sudah tepat. Bahkan diharapkan tidak hanya berhenti sampai di situ, masih diperlukan upaya startegis lainnya, selain mengandalkan dana bagi hasil yang ada.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024