Press ESC to close

Tembakau dan Neokolonialisme Gaya FCTC

Ada banyak jalan menuju ke Roma, ada banyak jalan juga untuk menjajah sebuah negara. Salah satunya yang paling efektif dan sangat sering dipakai di zaman Neoliberal pascakolonial saat ini adalah melalui intervensi ekonomi. Mempengaruhi kebijakan ekonomi sebuah negara melalui aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga internasional yang biasanya berkantor pusat di barat adalah salah satu bentuk dari intervensi ekonomi tersebut. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) merupakan lembaga-lembaga yang paling dikenal publik sebagai lembaga-lembaga yang fungsinya tak lebih dan tak kurang adalah mempengaruhi kebijakan ekonomi sebuah negara, biasanya negara Dunia Ketiga, untuk tujuan-tujuan yang biasanya justru merugikan negara yang diintervensi tersebut.

Tapi bukan ketiga lembaga internasional di atas saja yang diciptakan untuk mengintervensi kebijakan ekonomi negara Dunia Ketiga. WHO alias Organisasi Kesehatan Dunia yang nota bene adalah bagian dari Perserikaan Bangsa-bangsa (PBB) pun belakangan ini dipakai untuk mengintervensi kebijakan ekonomi negara Dunia Ketiga. Fungsi utama WHO adalah mempromosikan pencapaian tingkat kesehatan setinggi mungkin bagi seluruh bangsa di dunia. Definisi dari kesehatan menurut WHO adalah “a state of complete physical, mental, and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity.” (sebuah kondisi kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang lengkap dan bukan sekadar absennya penyakit atau sakit.)

Fungsi WHO adalah mempromosikan, membantu, menjadi rekan dalam usaha mencapai tingkat kesehatan setinggi mungkin bagi bangsa-bangsa di dunia ini. Tidak ada disebutkan bahwa WHO memiliki fungsi untuk mengintervensi kebijakan ekonomi sebuah negara walau demi tujuan kesehatan sekalipun!

Tapi fungsi utama WHO ini dilanggar oleh WHO sendiri dengan pengadopsian sebuah perjanjian (treaty) pada 21 Mei 2003. Perjanjian yang dinamakan “Framework Convention on Tobacco Control” (FCTC) atau “Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau” ini ditandatangani oleh 168 negara dan diratifikasi oleh 181 negara. Ada 15 Anggota PBB yang tidak terlibat dengan pengadopsian perjanjian tersebut dimana 9 di antaranya tidak menandatanganinya dan 6 menandatagani tapi belum meratifikasi. Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak menandatanginya.

FCTC berfungsi mengatur pengendalian konsumsi sekaligus produksi rokok. Selain itu FCTC juga mengatur tentang paparan asap rokok terhadap orang lain; iklan, promosi dan sponsor rokok; harga dan cukai rokok; kemasan dan pelabelan; kandungan produk tembakau; edukasi dan kesadaran publik untuk berhenti merokok; perdagangan ilegal rokok hingga penjualan rokok pada anak di bawah umur.

Bagi Indonesia, terutama bagi petani tembakau dan cengkeh, para pekerja di pabrik-pabrik rokok, industri rokok nasional, para pedagang rokok skala kecil hingga besar, dan juga bagi negara, keberadaan FCTC merupakan sebuah ancaman nyata bagi kedaulatan bangsa dan kemandirian ekonomi negara.

Baca Juga:  Pantaskah Cukai Rokok Tahun Depan Naik?

Keberadaan FCTC ternyata tidak murni perihal isu kesehatan. Ada kepentingan bisnis global dan usaha merebut pasar global dengan penyeragaman aturan ala FCTC tersebut.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Komunitas Kretek Indonesia, ada 8 bahaya yang akan merugikan banyak pihak di negeri ini jika pemerintah Indonesia menandatangi dan meratifikasi FCTC:

1. Menaikkan harga rokok setinggi-tingginya
2. Pengendalian tembakau lewat cukai
3. Memaksa petani tembakau mengkonversi lahan perkebunan tembakau ke komoditas lain
4. Matinya petani cengkeh
5. Hilangnya kreativitas dan hak intelektual
6. Industri Hasil Tembakau (IHT) dikucilkan
7. Larangan iklan dan promosi secara total bagi industri rokok
8. Diskriminasi terhadap perokok

Kalau kita perhatikan kedelapan bahaya yang ditemukan oleh Komunitas Kretek Indonesia di atas maka akan timbul pertanyaan besar: Kalau perjanjian FCTC dibuat hanya demi “kesehatan” bangsa-bangsa di dunia, mengapa akibat dari penerapannya justru berimbas ke hal-hal di luar “kesehatan” apalagi bagi negeri seperti Indonesia di mana istilah “tembakau” bukan sekadar merujuk ke peristiwa mengisap rokok seperti di barat?!

Poin 3, 4 dan 6 jelas tidak ada hubungannya dengan isu kesehatan! Ini sudah menyangkut harkat ekonomi bangsa Indonesia! Belum lagi kita perhitungkan banyaknya jumlah rakyat Indonesia yang menggantungkan penghasilan ekonomi utama mereka dari perkebunan tembakau, perkebunan cengkeh, dan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Ada sekitar 1 juta petani tembakau akan terancam mata pencariannya sebab belum tentu para petani dapat beradaptasi dengan menanam komoditas lain. FCTC melarang penggunaan perasa (flavour) pada rokok, ini artinya pemakaian cengkeh pada rokok akan diharamkan, maka petani cengkeh tidak lagi mempunyai alasan untuk menanam cengkeh. Padahal sebesar 97% produksi cengkeh nasional diserap oleh industri kretek. Dan terdapat sekitar 1,5 juta petani cengkeh yang bergantung hidup pada industri ini! Sebagai komoditas asli Indonesia, cengkeh dan petaninya jelas terancam nasibnya. Sementara itu Industri Hasil Tembakau (IHT) sejauh ini merupakan industri yang mampu memberikan masukan cukai terbesar bagi negara. Tahun lalu saja cukai dari rokok mencapai 157 Trilyun!

Dari ketiga hal ini saja jelaslah betapa alasan “kesehatan” yang konon dijadikan sebagai dasar pengadopsian perjanjian FCTC adalah alasan yang dibuat-buat belaka. Lebih menyolok mata efek ekonominya ketimbang hasil “kesehatan”nya. Bahkan FCTC sendiri mengakui dalam situsnya bahwa “agenda mereka tak bisa dihindari akan melukai para petani yang kehidupannya tergantung pada tembakau”!

Baca Juga:  Menafsirkan Uskup Soegija Merokok

Pertanyaannya sekarang siapa-siapa saja yang ada di belakang Proyek Neokolonialisme Ekonomi berkedok “kesehatan” global ini? Salah satu nama yang selalu muncul tiap kali isu gerakan anti rokok global dibicarakan adalah Michael Bloomberg.

Bloomberg adalah seorang bilioner Amerika Serikat dan merupakan “orang terkaya kesembilan di dunia” menurut majalah bisnis Forbes di tahun 2019. Bloomberg juga merupakan Duta Besar Global WHO untuk “Noncommunicable Diseases (NCDs) and Injuries” dari Agustus 2016 sampai November 2019. Dalam kapasitasnya sebagai Duta Besar Global WHO, Bloomberg meluncurkan dua proyek yaitu Partnership for Healthy Cities dan Task Force on Fiscal Policy for Health.

Fungsi dari Task Force on Fiscal Policy for Health adalah mempengaruhi kebijakan fiskal dari negara-negara anggota WHO untuk menaikkan cukai tembakau, alkohol dan minuman manis. Task Force on Fiscal Policy for Health ini memiliki anggota beberapa Menteri Keuangan dari berbagai negara dan salah satunya adalah “Sri Mulyani Indrawati, Minister of Finance, Indonesia”. Jadi, apa masih mengherankan kalau Menteri Keuangan Indonesia ini begitu heroik dan sangat sering mendorong agar FCTC, atau setidaknya poin aturan di dalamnya, diterapkan di Indonesia. Begitu juga dengan kebijakannya menaikkan cukai tembakau secara gila-gilaan setelah alkohol dan rencananya untuk mengenakan cukai untuk minuman kemasan berpemanis.

Bloomberg juga sangat aktif menyediakan dana untuk gerakan anti rokok global melalui proyek The Bloomberg Initiative to Reduce Tobacco Use Grants Program-nya. Kepada WHO sendiri, Bloomberg telah menyumbang sekitar satu bilyun dollar Amerika untuk promosi anti rokok, yang membuatnya jadi pendonor terbesar dalam usaha pengontrolan tembakau. Di tahun 2013 saja Bloomberg menyumbang lebih dari 109 juta dollar Amerika ke 61 negara untuk kampanye anti tembakau. Dan tentu saja Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menerima dana Bloomberg untuk kampanye anti rokoknya tersebut. Di Indonesia lembaga-lembaga penerima dana tersebut antara lain Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Pusaka Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Forum Warga Kota Jakarta, dan Lentera Anak Indonesia.