Cicero pernah mengatakan: “Salus populi suprema lex esto”, yang berarti keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Hal ini menegaskan bahwa pada kondisi negara yang tengah memerangi wabah Corona, maka kemanusiaan di atas segalanya, apalagi dibanding asas politik atau lainnya.
Namun tampaknya pemerintah kita seperti mengabaikan kondisi ‘perang’ saat ini. Sementara jumlah korban setiap harinya selalu bertambah, penyebaran virus tidak bisa dicegah dengan cepat karena sikap pemerintah yang lambat, karena terlalu dibebani banyak pertimbangan politis.
Keselamatan rakyat pada akhirnya rakyat juga yang mengatasinya dengan lebih sigap. Pemberlakuan phisical distancing dan protokol pencegahan penyebaran virus diterapkan secara mandiri. Di beberapa daerah, rakyat bahu membahu mengambil langkah taktis dengan membatasi jalur keluar masuk warga dan pendatang. Begitupun dengan tenaga medis di lapangan.
Di tengah kondisi seperti ini masih ada pemerintah daerah yang membahas peraturan yang mengatur aktivitas merokok. Seperti yang telah terjadi beberapa waktu lalu di Jambi. Pemkot setempat membahas penerapan Perda KTR, yaitu peraturan daerah yang mengatur Kawasan Tanpa Rokok. Dalam konteks ini memang banyak daerah belum mampu menerapkan KTR secara tepat, yang artinya tidak mampu mengakomodir kepentingan semua lapisan masyarakat. Melulu yang terjadi adalah upaya diskriminasi, karena berlandaskan kepentingan menghabisi ruang gerak perokok.
Saat ini sebagian besar masyarakat sedang berada di rumah, berupaya untuk selamat dari ancaman virus Corona, membatasi aktivitas keluar rumah yang sangat rentan sekali menular melalui interaksi antar manusia dan benda-benda yang potensial menjadi media penularan. Jadi, sebetulnya aktivitas merokok masyarakat saat ini lebih sering dilakukan di lingkup rumah saja. Dengan kata lain, kecil kemungkinan untuk merokok di tempat-tempat yang ditetapkan dalam Perda KTR. Namun, entah kenapa pada kondisi yang serba riskan ini, Pemkot Jambi masih sempat-sempatnya menyoal tidak maksimalnya penerapan Perda KTR.
Dari sekian daerah yang menerbitkan Perda KTR, hampir rata-rata dilaksanakan tanpa kesiapan yang matang. Bahkan sering pula menjadi alat pencitraan daerah, di antaranya demi mendapat gelar kota sehat ataupula kota ramah anak, dan sekian target pencitraan lainnya. Jika memang pembahasan Perda KTR hanya untuk mengejar citra daerah, naif betul upaya yang dilakukan Pemkot Jambi. Bahkan bisa kita sebut, walikotanya ini haus pencitraan banget ya.
Mestinya ada prioritas yang harus disikapi segera dalam rangka memerangi pandemi Corona. Bukan main memang, jika masih ada pemerintah daerah yang tidak mencemaskan wabah mematikan itu. Secara logika sederhana saja, masyarakat awam pastinya sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa menyoal kinerja pemerintah daerah dalam penerapan Perda KTR itu terlalu memaksakan.
Bukankah seharusnya pada kondisi pandemik ini, Walikota dan jajarannya lebih sibuk berkoordinasi terkait pencegahan penyebaran wabah di kotanya. Memeriksa lagi apa yang belum terpenuhi menyangkut penanganan korban. Jangan sampai sudah banyak makan korban tapi masih saja tak juga tanggap. Apalagi kata yang tepat untuk menggambarkan situasi demikian, kalau bukan ngehek?
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024