Search
Fenomena Pengepulan Daun Cengkeh Mengancam Kelestarian

Penjualan Cengkeh Lesu Akibat Wabah

Komoditas cengkeh sebagai sumber andalan bagi sebagian besar masyarakat Maluku kabarnya kini kurang menggairahkan. Hal ini terkait harga jualnya yang bergerak turun dibandingkan masa-masa sebelum pandemi.

Kepulauan Maluku yang dikenal sebagi penghasil rempah sejak dahulu tidak hanya diketahui menghasilkan cengkeh terbaik, tapi juga dikenal penghasil pala. Namun, kedua komoditas ini sama-sama mengalami kelesuan. Berbeda dengan kopra, cokelat, dan fuli, yang dikabarkan masih bertahan harganya dan relatif menguntungkan bagi petani.

Berdasar pantauan berita, harga cengkeh di pusat penjualan rempah di Kota Ambon kini dipatok Rp 60 ribu per kilogram. Sebelumnya harga jual di sana bisa sampai Rp 65 ribu per kilogram. Sebetulnya penurunan harga ini telah diketahui sejak tahun lalu, penurunannya sangat signifikan dibanding tahun-tahun kejayaannya yang bisa mencapai 100-150 ribu per kilogram.

Sejak pertengahan tahun 2019, di Kulonprogo saja harga jualnya di kisaran Rp 70 ribu per kilogram. Sebagaimana kita ketahui, cengkeh di Indonesia 90% lebih terserap untuk industri rokok dalam negeri. Ditengarai turunnya harga cengkeh ini akibat munculnya kebijakan tarif cukai yang baru, dimana kenaikan tarifnya mencapai 23 persen.

Dampak itu juga dirasakan langsung pada komoditas tembakau, lantaran pabrikan membatasi kuota produksinya. Sebagai pengingat, pasar rokok dalam negeri dikuasai oleh produk kretek. Baik kretek reguler maupun kretek mild dan bold, kontennya selain tembakau juga terdapat cengkeh.

Baca Juga:  Cerutu Rizona di Temanggung dan Kualitas Tembakau Indonesia yang Mendunia

Selain terdampak kebijakan cukai, pada masa pandemi ini komoditas cengkeh juga terkena dampak dari pemberlakuan social distancing, yang mengakibatkan terkendalanya jalur distribusi, tak pelak ongkos yang harus dikeluarkan pun meningkat. Belum lagi persoalan penumpukan karena harus mengikuti prosedur pembatasan yang berlaku.

Sebagai info tambahan, cengkeh-cengkeh hasil pembelian di Kota Ambon, kemudian akan dijual lagi di pasar utama di Surabaya. Adanya mata rantai dagang seperti inilah salah satunya yang membuat harga cengkeh dari petani tidak selalu menggembirakan, selain adanya persoalan musim dan gejolak pasar akibat regulasi yang berlaku.

Tak dipungkiri, petani memang tidak selalu diuntungkan, apalagi di masa pembatasan akibat wabah virus corona. Selain karena harganya yang bergerak turun, petani banyak yang enggan keluar untuk menjual cengkehnya lantaran pembatasan tersebut.

Cengkeh adalah komoditas yang hampir sama dengan emas, dapat disimpan sebagai investasi dalam jangka waktu yang lama. Banyak petani cengkeh menahan hasil panennya ketika harga sedang jatuh, tidak seluruhnya panenan dijual ke pengepul. Biasanya sebagian akan disimpan untuk tabungan jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk keperluan penting.

Baca Juga:  Naifnya Pemkot Malang Menghadapi Gelombang PHK Pabrik Rokok

Di masa pandemi ini, instruksi pemerintah daerah terkait pembatasan aktivitas masyarakat di luar rumah menjadi salah satu faktor yang membuat jarang terjadinya pembelian cengkeh. Petani lebih memilih untuk menyimpan hasil panen cengkehnya.

Gambaran kondisi semacam ini tentu berpengaruh terhadap sektor usaha rokok dalam negeri. Terlebih lagi bagi masyarakat yang bergantung hidup dari komoditas cengkeh, pun komoditas perkebunan lainnya. Diharapkan pemerintah segera tanggap dalam menyiasati kelesuan ini, agar perekonomian masyarakat kembali pulih dan tak berlarut-larut terkonsentrasi mengatasi wabah covid.

Biar bagaimanapun, industri rokok dalam negeri, yang selama ini menjadi andalan pemasukan negara, tidak lepas dari andil para petani sebagai penopang utama ketersediaan bahan baku. Pemerintah jangan sampai hanya mengambil upaya-upaya taktis saja tanpa memikirkan solusi strategisnya. Setidaknya, segera mengambil sikap untuk memberi jaminan perlindungan terhadap sumber-sumber riil bagi penghidupan masyarakat.