Rokok itu haram. Seseorang akan otomatis berdosa ketika merokok. Rokok itu aib. Segala kebaikan menjadi luntur apabila merokok. Rokok itu racun. Rokok itu…
Ah, masih banyak stigma negatif lain soal rokok. Narasi semacam itu jelas keluar dari kepala dan mulut orang-orang yang anti terhadap rokok. Terlepas dari segala kontroversi yang ada, saya menghormati kebebasan berpendapat. Silakan bagi siapa pun yang meyakini demikian.
Vice versa. Sebagai perokok, saya pun berhak berpandangan lain. Paling tidak saya berhak untuk tidak sepakat pada narasi antirokok. Pada titik tertentu, narasi antirokok kerap melewati batas. Batas yang saya maksud adalah kehendak bebas tiap individu yang memilih untuk menjadi perokok.
Beberapa hari yang lalu, Abidzar Al Ghifari, putra sulung almarhum Ustaz Jeffry al Buchori, menjadi korban cibiran antirokok. Beragam stigma negatif dialamatkan pada remaja yang gemar bermusik ini.
Abi, sapaan akrab Abidzar, mengunggah rekaman video dirinya sedang menyanyi di akun instagram-nya @abidzar73. Unggahan tersebut mencuri perhatian warganet. Banyak yang memuji penampilannya, tapi tak sedikit pula yang berkomentar buruk. Dalam video tersebut Abi nampak merokok sebelum mulai bernyanyi.
“Astaga rokokan,” ujar salah satu warganet.
“Kakak ganteng, tapi sayangnya perokok,” timpal warganet lain.
“Tidak patut dicontoh dan tidak layak jadi panutan,” sambung yang lain.
Reaksi negatif dari warganet menunjukkan betapa sebagian dari kita merasa berhak mengatur kehidupan orang lain. Merokok atau tidak adalah pilihan. Asal sudah cukup umur, setiap orang boleh merokok. Setidaknya begitulah regulasi yang berlaku di negara kita.
Kalau pun kecewa karena idola merokok, ya sudah, berhenti mengagumi. Cukup. Jangan berpikir kalau idola bertanggung jawab pada perasaan yang lahir dari pikiran konyol para penggemarnya.
Tidak cukup mengomentari pribadi Abi, beberapa warganet bahkan mengaitkan aktivitas merokok Abi dengan statusnya sebagai anak pemuka agama.
“Rasanya kurang pantas seorang anak dari orang shaleh merokok,”
“Adooh, tuh bocah baru aja beranjak gede udah ngerokok. Ngerokok aja kok bangga. Emang gak kasian kamu sama almarhum bapakmu?”
Ada banyak komentar serupa di video unggahan Abi. Belum genap sepekan bermaaf-maafan, sudah banyak orang yang kebelet sambat.
Melihat fenomena itu, Umi Pipik, ibunda Abi, tampil membela dan menanggapi beberapa komentar. Ia meminta pada warganet agar tidak menghujat pilihan Abi untuk merokok.
“Ibu yang terhormat, jangan gampang menjudge dan menilai orang dari luarnya saja! Semua butuh proses bukan langsung jadi instan,” tulis Umi Pipik di kolom komentar.
“Apa yang kasihan sama ayahnya? Alm. Ayahnya dulu pecandu narkoba, perokok berat, pemain sinetron, pemain film, hidayah yang membawa dia kata orang-orang jadi ustaz.” tambahnya.
Komentar dari Umi Pipik pun masih direspon dengan cibiran oleh beberapa warganet yang nampak tidak terima Abi dibolehkan merokok oleh ibunya. Sungguh sikap yang kelewat bodoh menggemaskan.
Ini bukan pertama kali Abi menerima cibiran karena rokok. Sebelumnya, ia pernah mengunggah foto dengan pose merokok. Pada unggahan itu Abi pun menanggapi dengan sikap yang sama; santai.
Apa yang dialami Abi menjadi gambaran bagi kita, betapa kebencian yang mendalam membuat seorangĀ membabi buta. Antirokok–dengan segala kebenciannya pada rokok, bisa berubah menjadi hakim penentu benar-salah. Kebencian semacam ini pula yang kerap membawa seseorang pada cara berpikir yang picik.
Saya sepakat bahwa seorang tokoh punya tanggung jawab menyoal moral publik. Itu pun dalam batas tertentu. Tapi, merokok itu bukan perkara moral. Stigma bahwa merokok itu tidak bermoral hanya standar yang dibangun secara subjektif oleh para antirokok.
Apalagi mengaitkan dengan bab dosa, aduh, terlalu jauh. Jujur saja, kita bahkan bisa dengan mudah menemukan banyak pemuka agama yang merokok. Sekali lagi, banyak pemuka agama yang merokok. Lantas kenapa anak dari pemuka agama jadi tidak boleh merokok??
Sulit memang mengikuti nalar jumud orang-orang yang dipenuhi kebencian, alih-alih penuh cinta.
Dari semua kontroversi di atas, rasanya kita perlu merenungi salah satu komentar Umi Pipik: Bukan manusia yang memberi hidayah, tapi Allah.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022