Sumbangsih cukai rokok bagi kas negara acap kali menjadi andalan pemerintah. Terbukti dari naiknya target penerimaan cukai dalam APBN 2020 sebesar Rp 180,5 triliun dibanding angka yang dipatok pada APBN 2019, sekitar Rp 165,5 triliun.
Sebagian kalangan memprediksi target tersebut tidak akan tercapai. Asumsi yang digunakan adalah akibat menurunnya daya beli konsumen terdampak kebijakan cukai yang baru. Apalagi di masa pandemi, sebagian besar masyarakat saat ini tengah terdampak krisis. Banyak pekerja yang dirumahkan lantaran terpukulnya sejumlah sektor usaha. Jalur distribusi banyak yang terganggu akibat PSBB.
Di balik kondisi itu, terdapat anomali angka pertumbuhan yang signifikan. Berdasar data yang diperoleh, mencapai 25,08 persen pertumbuhannya berdasar realisasi penerimaan negara dari bea dan cukai, tercatat realisasi keseluruhan hingga akhir April mencapai Rp 57,66 triliun. Angka tersebut sebagian besar disumbang dari cukai hasil tembakau.
Tentu ini menjadi pertanyaan bagi sebagian kalangan. Kok bisa pada kondisi krisis ada angka penerimaan yang naik? Seperti kita ketahui, bahwa dalam konteks industri rokok, pihak industri harus membeli dulu pita cukai rokok seturut jumlah yang akan diproduksi. Ditambah lagi dengan adanya PMK No.57/PMK04.2017 tentang Penundaan Pembayaran Cukai—yang relatif membantu bisnis barang kena cukai. Ini salah satu faktornya.
Industri rokok sudah mengantisipasi potensi yang ditimbulkan akibat wabah corona dengan membeli pita cukai sejak periode awal (Januari—April), lonjakan pembeliaan terjadi pada periode tersebut. Artinya, angka peningkatan realisasi penerimaan cukai didapat dari limpahan tahun lalu, efek dari PMK tersebut.
Jika kita tilik lebih lanjut, dengan adanya efek tersebut setidaknya angka laporan penerimaan periode saat ini cukup menggembirakan. Meski sebetulnya kondisi pasar relatif mengalami kelesuan. Harus ada upaya lebih yang mesti dilakukan pemerintah untuk mengejar target penerimaan cukai 2020.
Artinya, andil kebijakan pemerintah dalam menjaga iklim usaha dalam negeri memang sangat diperlukan. Terutama lagi bagi sektor-sektor usaha padat karya seperti industri kretek. Sektor yang sebagian besar tergolong industri kecil menengah. Sudah semestinya pemerintah berpihak pada sektor-sektor yang memberi penghidupan masyarakat.
Lebih daripada itu, pemerintah harusnya mengupayakan langkah strategis dalam memberi jaminan perlindungan pasar. Selain menjaga iklim usaha yang menjadi sumber pendapatan negara, pemerintah juga harus menjamin terjaganya iklim pasar. Bukan dengan terus saja menaikkan tarif cukai rokok, alih-alih pengendalian konsumsi yang justru berujung diskriminasi.
Kita juga tahu, pemerintah mengatur peruntukkan cukai rokok agar dapat memajukan sektor tani dan industri, juga kegiatan sosial. Pula untuk porsi JKN. Namun pada poin peruntukkan kegiatan sosial, malah kerap digunakan untuk mengongkosi kegiatan kampanye kesehatan, mendiskreditkan rokok dan perokok. Satu hal yang rancu, cukai kan duitnya dari perokok kok dipakai buat nakut-nakuti perokok.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024