Press ESC to close

Berhenti Merokok Adalah Hak Bagi Mereka yang Ingin

Sesungguhnya berhenti merokok adalah hal yang biasa saja. Ini bukanlah hal yang sulit dilakukan, selama itu sudah menjadi pegangan dan bukan paksaan. Persoalannya, kebanyakan orang yang berupaya berhenti melakukannya karena paksaan dari orang lain.

Tidak melakukannya dengan sukarela dan niat yang benar adalah satu alasan kenapa orang disebut sulit berhenti merokok. Tentu ini adalah tindakan yang diharuskan berdasar pada sebuah prinsip, tanpa itu semua tak bakal terjadi. Sebuah keyakinan kuat yang dapat membuat orang benar-benar untuk berhenti.

Persoalannya, seperti sudah dijelaskan di atas, kebanyakan orang berupaya berhenti lantaran paksaan. Mereka diminta keluarga, teman, kerabat, atau pasangan untuk berhenti merokok. Jika permintaan itu dinilai prinsipil, mungkin saja orang tersebut bisa berhenti. Sayangnya, kebanyakan permintaan hanya menjadi sebuah paksaan bagi mereka.

Lebih parahnya lagi, kebanyakan orang yang dipaksa berhenti merokok turut didongengi oleh cerita-cerita seram ala antirokok. Mereka ditakut-takuti narasi soal penyakit, kemiskinan, dan yang paling parah tentu kematian. Padahal, cerita seram macam begitu justru tidak efektif, hanya membuat orang makin merasa jengkel dan mendapatkan paksaan.

Baca Juga:  Jika Industri Hasil Tembakau Mati, Apakah Nasib Para Pembenci Rokok Bakal Lebih Baik?

Sejatinya saya menilai berhenti merokok adalah hak, bagi mereka yang ingin tentu saja. Tanpa keinginan, mengupayakan seseorang berhenti adalah sebuah paksaan. Dan hal ini tentu tidak baik bagi mereka dan hubungan mereka.

Saya pernah mendengar cerita ada suami yang mengiyakan keinginan sang istri untuk berhenti merokok. Walau kemudian Ia tidak benar-benar berhenti, hanya tidak merokok di depan istrinya. Mungkin ini dianggapnya sebagai jalan tengah, tetapi kebohongan tetap saja kebohongan yang suatu saat dapat terbongkar.

Pada akhirnya, berbohong bukan pilihan yang baik untuk urusan ini. Dan memaksakan kehendak agar seseorang berhenti sebats juga bukanlah hal yang baik. Seandainya memang mereka adalah pasangan, sebenarnya mereka bisa berdiskusi tentang jalan tengah yang harus diambil. Misalnya, tetap tidak merokok di depan istri, tapi tanpa berbohong kalau sudah berhenti.

Beda hal ketika orang tersebut memang sudah berniat untuk berhenti. Apa pun perkataan orang, dia telah memegang prinsip dan telah memiliki niat  untuk benar-benar berhenti. Jadi apa pun yang terjadi, dia bakal tetap berhenti. Tanpa dipaksa pun kemungkinan bakal bisa berhasil sih.

Baca Juga:  Harga Rokok Naik Perlahan, Kok Bisa?

Di sanalah kunci dari perkara berhenti sebats ini, niat dan keinginan sendiri. Seandainya yang ingin begitu adalah teman saya, dan dia sudah punya keyakinan dan keinginan yang kuat, tentu bakal saya dukung walau ya saya tetap merokok. Tidak bakal saya memusuhinya, karena saya menghargai haknya yang ingin berhenti.

Dan yang lebih penting lagi, saya yakin, orang yang berhenti merokok dengan prinsip seperti ini tidak bakal kemudian menjadi benci terhadap rokok. Itu karena dia memilih menggunakan haknya untuk berhenti, tanpa paksaan serta dongeng manipulatif para pembenci rokok. Dan kita, tentu tidak bakal kehilangan teman hanya karena persoalan berhenti sebats ini.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit