Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Solo sejauh ini berjalan alot. Setiap fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memberikan tanggapan dan masukan atas Rancangan Perda KTR yang diajukan Pemerintah kota. Walau pun berjalan alot, tetapi beginilah harusnya kebijakan dipersiapkan secara demokratis.
Dari kebanyakan Perda KTR yang saya tahu, dengan target segera disahkan, akhirnya pengesahan Perda tersebut berjalan tergesa-gesa dan ala kadarnya. Asal tahu saja, dulu ada loh sebuah daerah yang asal salin tempel draf rancangan berdasarkan aturan dari Kota Bogor. Padahal, perilaku semacam ini tidak untuk merancang sebuah kebijakan.
Tidak hanya itu, selain kebiasaan kejar target pengesahan, rancangan Perda KTR juga (biasanya) tidak mendengarkan aspirasi semua pihak. Benar ada kelompok masyarakat yang diundang untuk membahas ini, tetapi biasanya itu dilakukan oleh kelompok kesehatan atau antirokok semata. Kelompok perokok, pedagang, atau industri belum tentu diajak.
Karena itulah tatkala melihat dinamika di DPRD Solo, saya merasa masih ada harapan bagi masyarakat Solo untuk mendapatkan haknya. Tidak hanya masyarakat yang bukan perokok, tetapi juga mereka yang merokok bisa mendapatkan haknya. Toh sejatinya kebijakan adalah sebuah upaya agar hak seluruh pihak dapat terakomodasi.
Misalnya pada pembahasan iklan reklame, satu pihak di DPRD mendorong pelarangan iklan secara total, sementara pihak lainnya menolak. Menurut pihak yang menolak, perkara reklame ini sudah ada yang mengatur. Sementara pihak yang mendorong menilai hal itu perlu dilakukan agar perkara perokok di bawah umur bisa diselesaikan.
Di luar apa hasilnya, menurut saya terbukanya pembahasan seperti di atas adalah perwujudan dari demokrasi itu sendiri. Tinggal bagaimana nantinya anggota DPRD menyepakati kebijakan berdasar argumentasi yang clear dan memenuhi hak seluruh masyarakat. Toh, kepentingan pemasukan daerah dari reklame iklan rokok tetap menjadi hal yang harus diperhatikan.
Begini, suka atau tidak iklan dari rokok adalah salah satu pemasukan besar bagi daerah. Kalau pun mau mengurangi prevalensi perokok pemula, harusnya cara berpikir untuk perkara ini adalah menegakkan aturan penjualan. Ya tinggal larang penjualan pada mereka yang di kartu identitasnya masih di bawah 18 tahun. Begitu saja kok repot.
Kemudian, hal lain yang dibahas secara ketat adalah kejelasan tempat apa saja yang dianggap sebagai kawasan tanpa rokok. Ini adalah hal penting yang jarang dibahas oleh pemangku kebijakan. Soalnya, kebiasaan menjadikan semua tempat umum sebagai KTR adalah hal yang jelas keliru.
Asumsi orang tidak boleh berjualan rokok di kawasan tanpa rokok jelas merugikan para pedagang asongan dan warung kaki lima. Apalagi jika kemudian jalan umum dijadikan KTR, seperti kemauan Fraksi PKS DPRD Solo. Padahal, salah satu jualan utama mereka ya rokok. Kalau cuma untuk mengurangi prevalensi, ya tinggal larang seperti di atas saja.
Lagi pula, yang namanya membuat kebijakan itu diharuskan untuk berkompromi. Tidak bisa pemangku kebijakan memaksakan kehendak untuk melarang aktivitas berjualan atau merokok semau-maunya sendiri. Ada pihak lain, ada kelompok masyarakat lain yang juga harus dipenuhi haknya. Tidak bisa sembarangan saja.
Karena itulah, walau alot, pembahasan Perda KTR Solo sejauh ini terbilang demokratis. Jangan sampai kemudian, target kejar setoran membuatnya dibahas secara tergesa-gesa. Kalau memang belum siap, ya tidak usah disahkan dulu. Toh, niat melindungi kesehatan masyarakat tidak bisa dilaksanakan dengan mematikan penghidupan masyarakat lainnya.
- Melindungi Anak adalah Dalih Memberangus Sektor Kretek - 29 May 2024
- Apakah Merokok di Bulan Puasa Haram? - 20 March 2024
- Betapa Mudahnya Membeli Rokok Ilegal di Warung Madura - 23 February 2024