Press ESC to close

Harga Cengkeh Jatuh Akibat Kebijakan yang Tak Berpihak

Harga cengkeh pernah tinggi sekali, tetapi pernah juga masuk pada fase terendah. Ini karena kebijakan yang tak berpihak dari negara.

Cengkeh bagi industri rokok dalam negeri merupakan unsur rempah yang dibutuhkan pada produk kretek. Unsur rempah inilah yang menjadi pembeda kretek dari rokok putihan. Kebutuhan industri terhadap rempah endemik ini cukup tinggi pada tahun-tahun kejayaannya, namun di masa krisis ini pembelian industri mengalami penurunan.

Penurunan ini merupakan imbas dari regulasi kenaikan cukai yang sangat mempengaruhi kebutuhan produksi. Sama halnya dengan yang terjadi pada komoditas tembakau, dimana petani terpaksa menjual hasil panenannya ke pasaran lantaran tak terserap pabrik. Industri harus melakukan penyesuaian target produksi agar tetap bisa beroperasi.

Memang sudah diprediksi sejak jauh hari terkait dampak regulasi cukai ini bagi petani. Pabrikan mau tak mau harus menyiasati komposisi serta kuota produksinya. Tak heran jika petani pun mengeluhkan kondisi ini, apalagi ketika harga panen cengkeh mereka tak lagi menggembirakan. Bahkan pada tahun ini hargnya semakin rendah dari harga tahun lalu.

Seperti yang dialami petani cengkeh di Pangandaran yang harus menerima kenyataan jatuhnya harga jual komoditas ini. Masa krisis ini tak dipungkiri disebabkan pula adanya kondisi pandemi. Berbagai aktivitas ekonomi di dalam negeri terkendala oleh situasi yang serba riskan ini. Tersendatnya proses distribusi dan terkendalanya beragam mata rantai usaha.

Baca Juga:  Fenomena Tingwe Memunculkan Peluang Usaha Bagi Kalangan Muda

Sebagian besar masyarakat mengeluhkan dampak krisis yang ditimbulkan dari kondisi pandemi. Masyarakat hanya melihat dari satu faktor penyebab, sorotan hanya pada satu momok itu. Sementara faktor kebijakan yang memberi pengaruh besar seperti terabaikan. Iya di antaranya yang terjadi pada Industri Hasil Tembakau (IHT) ini.

Harga cengkeh merupakan bagian dari rantai IHT

Akibat dari munculnya satu regulasi yang menyasar IHT tentu saja memberi berbagai dampak turunan. Terlebih bagi pabrikan skala kecil-menengah, langkah yang diambil mau tak mau efesiensi, iya itu cara paling rasional menyiasati kebangkrutan. Kuota konten terpaksa mengalami penyesuaian seturut turunnya target produksi.

Seharusnya dalam konteks ini pemerintah ketika merumuskan kebijakan tentang IHT tak hanya melihat dari satu dimensi. Bicara soal cukai jangan melulu dari isu kesehatan, berhentilah mengadopsi dalil dari paradigma antirokok, pertimbangkan adanya dampak ekonomi yang dialami hulu industri. Tentu ini menyangkut hajat hidup jutaan petani.

Boleh dikata pada kondisi krisis ini petani masih dapat bersyukur, cengkeh masih terserap untuk industri rokok. Meski volume maupun harganya tak sebaik masa jayanya, bersyukur masih ada pasar dan pihak pabrikan menyerap hasil panen. Artinya, masih ada sektor kretek yang diproduksi. Untuk itu para penentu kebijakan harus memberi jaminan perlindungan yang berpihak terhadap petani. Jangan sampai membuat kebijakan bunuh diri, sektor kretek lagi yang harus ditekan mati.

Baca Juga:  Kemendagri Harus Menyikapi Perda KTR Bogor yang Terus Menuai Kritik

Jangan sampai petani kembali mengalami depresi seperti yang pernah terjadi pada masa BPPC bercokol menyeret harga cengkeh ke level terendah. Komoditas ini pernah mengalami masa terburuknya, petani tak lagi menaruh harapan pada tanaman endemik kita kala itu. Cukuplah menjadi catatan sejarah dan pelajaran berharga bagi semua.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah