Press ESC to close

Industri Kretek Kritis, Jangan Buat Kebijakan Sembarangan

Saya kira tak bakal ada yang menyangkal jika 2020 adalah tahun yang berat bagi semua orang. Tidak hanya masyarakat, perekonomian dan dunia bisnis pun lesu. Bahkan, industri kretek yang mampu bertahan di krisis moneter 1998 mulai kepayahan menghadapi kondisi ini.

Duet maut pandemi Covid-19 dan melemahnya perekonomian ini memang amat rawan menghadirkan krisis panjang. Bahkan tanpa pandemi, keadaan ekonomi sudah tidak baik-baik saja. Kehadirannya justru menambahkan beban terhadap semua faktor ekonomi yang ada.

Di masa pandemi seperti sekarang, industri kretek tidak bisa melakukan produksi dengan optimal. Pertama, karena permintaan yang tidak sebanyak biasa. Kemudian, berkurangnya tenaga kerja karena beberapa faktor turut mempengaruhi. Sehingga, daya beli masyarakat berkurang, penerimaan pun berkurang, produksi berkurang, sehingga uang tidak berputar.

Pada konteks industri kretek, kondisi tersebut diperparah kebijakan cukai yang tidak bijak dari pemerintah. Suka atau tidak, kenaikan tarif cukai secara signifikan tahun ini membuat keadaan bagi industri menjadi benar-benar buruk. Sudah tren konsumsi berkurang, produksi harus berkurang, tetapi setoran ke negara malah dilipatgandakan. Bajingan tengik.

Melihat semua variabel di atas, harusnya pemerintah kemudian menyiapkan paket kebijakan untuk membantu industri prioritas Indonesia ini. Jika pun tidak mampu memberi subsidi, setidaknya jangan membuat industri makin sulit dengan wacana kebijakan buruk lainnya. Meski baru wacana, isu kenaikan tarif cukai dan simplifikasi cukai membuat sentimen ekonomi industri makin buruk.

Baca Juga:  Penerimaan Cukai Rokok Meningkat di Masa Pandemi

Negara harus mampu melihat kemampuan industri ini secara menyeluruh. Jangan kemudian membuat kebijakan hanya berdasar kekuatan ekonomi pabrikan besar belaka. Mengingat, ini industri yang padat karya, penyerapan tenaga kerja pun menjadi banyak karena keberadaan pabrikan kecil menengah.

Pada konteks simplifikasi, mungkin pemerintah melihat pabrikan besar yang punya modal besar dapat bertahan. Di lapangan, mungkin saja memang bisa begitu. Persoalannya, apakah kemudian pabrikan kecil menengah mampu bertahan dengan kebijakan ini? Jika tidak, berapa banyak tenaga kerja yang kehilangan sumber penghasilannya?

Dalam urusan simplifikasi, pihak yang paling dirugikan tentu adalah pabrikan kecil menengah. Tanpa adanya “golongan” dari kelas rokok yang beredar berdasar jumlah produksi, maka hanya pabrikan besar yang bakal diuntungkan. Mengingat kebijakan ini pada akhirnya bakal berujung pada kenaikan upeti yang harus dibayarkan pabrikan kecil menengah.

Pada dasarnya, kebijakan simplifikasi adalah upaya untuk menyamaratakan tarif cukai yang bakal dibayarkan pabrikan. Mau kecil menengah besar, semua bayar cukai dengan jumlah yang sama besarnya. Pabrikan besar sih aman-aman saja, sementara yang lain berpotensi gulung tikar.

Baca Juga:  Pertarungan Kuasa dalam Memaknai Realitas Sosial

Dengan kondisi di atas, pabrikan besar bakal diuntungkan karena tumbangnya banyak pabrik dari kebijakan ini. Persaingan pasar bakal makin kecil, dan pada akhirnya hanya pabrikan besar yang mampu bertahan. Apakah hal ini yang memang diinginkan pemerintah?

Inilah hal yang kemudian harus dipahami pemerintah ketika mengambil kebijakan. Jangan sampai kebijakan yang diambil justru menghadirkan keburukan bagi industri. Karena, kalau memang pemerintah berniat mematikan industri, ketimbang simplifikasi, lebih baik buat kebijakan mengilegalkan rokok saja sekalian. Gitu aja kok repot.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit