Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah industri padat karya. Selain menjadi penyumbang cukai terbesar, sektor ini juga menjadi lapangan kerja yang cukup vital. Ada jutaan tenaga kerja di dalamnya, dari hulu ke hilir.
Di awal tahun, sebelum virus corona masuk dan mewabah di Indonesia, pemerintah resmi memberlakukan tarif cukai baru. Tarif baru tersebut naik 25 persen dari tahun lalu, sedangkan Harga Jual Eceran (HJE) ikut terkerek naik 35 persen. IHT goyah, namun tetap bertahan.
Setelah berhasil melewati awal tahun yang berat, IHT kembali diuji. Bagi para bagi stakeholder pertembakauan, ini adalah mimpi buruk beruntun dalam dua malam. Mimpi buruk kali ini jelas lebih mengerikan bagi seluruh elemen pelaku ekonomi, mulai dari mikro sampai pabrikan.
Pandemi global meluluhlantahkan perekonomian banyak negara, termasuk Indonesia. Imbas yang paling memukul masyarakat adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh banyak perusahaan kepada buruh dan tenaga kerja lain di sektor distribusi.
PHK jadi salah satu langkah akhir yang dipilih oleh banyak perusahaan dalam rangka bertahan dari badai pandemi. Krisis kesehatan–juga krisis ekonomi, tentunya–membentuk situasi yang serba tidak pasti bagi para pelaku usaha. Langkah ini tentu kabar buruk bagi para tenaga kerja.
Soal serapan tenaga kerja, data dari Kementerian Perindustrian pada tahun 2019, IHT menyerap sebanyak 4,28 juta pekerja di industri manufaktur dan distribusinya. Tidak hanya itu, sektor tembakau juga menyerap sekitar 1,7 juta pekerja di perkebunan tembakau.
Ada banyak manusia menggantungkan nasib di sektor pertembakauan. Jumlah serapan tenaga kerja pada sektor ini adalah yang terbesar kelima di tanah air. Betapa vitalnya peran IHT dalam perekonomian negara.
Dari hasil riset Forum for Socio-Economic Studies (FOSES), kenaikan cukai rokok setiap tahun ternyata selalu memberikan pengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja serapan di sektor IHT.
Ketua Tim Riset FOSES, Putra Perdana menyebut telah terjadi penurunan jumlah tenaga kerja selama 2016 hingga 2018 akibat kenaikan cukai rokok. Besarnya 7,7 persen, 4,26 persen, hingga 4,88 persen.
Di tahun 2019 tidak ada kenaikan tarif cukai. Sedangkan tahun 2020 kenaikan tarif cukai menyentuh angka terbesar sepanjang sejarah. Dampak yang ditimbulkan pun jelas lebih besar.
Itu baru penurunan jumlah serapan akibat kebijakan cukai, belum lagi jika ditambah variabel wabah COVID-19. IHT berdiri di kaki yang ringkih. Salah-salah, penghidupan jutaan orang taruhannya.
Kepala Subdit Hubungan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Sumondang, membenarkan data yang menyebut terjadi penurunan serapan tenaga kerja di sektor IHT. Sebagai bentuk otokritik, ia menilai Kemenaker perlu hati-hati dalam menetapkan besaran tarif cukai.
Kehati-hatian pemangku kebijakan jelas tak bisa ditawar. Perlu formula yang bisa menjamin keberlangsungan industri padat karya seperti IHT. Ide-ide liar untuk kembali menaikkan tarif cukai di tengah pandemi tentu bukan opsi yang layak dipertimbangkan.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022