Press ESC to close

Berhenti Merokok Bisa Kapan Saja, Tak Harus Saat Pandemi

Beberapa artikel menyebut ada banyak perokok di dunia ini yang pensiun karena merasa terancam corona dan khawatir pada efek yang lebih parah akibat merokok. Momen pandemi pun dikampanyekan sebagai momen yang tepat untuk berhenti merokok.

Sesungguhnya berhenti dari aktifitas merokok adalah hal yang biasa saja. Sungguh tidak ada yang istimewa. Ini bukanlah hal yang sulit dilakukan, selama itu sudah menjadi pegangan dan bukan paksaan. Persoalannya, kebanyakan orang yang berupaya berhenti melakukannya karena paksaan dari orang lain.

Lebih parahnya lagi, kebanyakan orang yang dipaksa berhenti itu kerap didongengi oleh cerita-cerita seram ala antirokok. Mereka ditakut-takuti narasi soal penyakit, kemiskinan, dan yang paling parah tentu kematian. Padahal, cerita seram macam begitu justru tidak efektif, hanya membuat orang makin merasa jengkel dan mendapatkan paksaan.

Paksaan dan kampanye berhenti merokok selama ini masif dilakukan oleh antirokok. Tujuan mereka jelas: membasmi rokok dan perokok dari peradaban. Padahal, kalau tidak suka kopi, ya silakan minum teh. Kalau tidak suka teh, ya bisa minum susu. Kalau tidak suka susu juga, ya minum air putih saja. Bebas. Tanpa perlu melarang orang minum kopi, teh, atau susu. Sederhana sekali.

Baca Juga:  Penerapan KTR Tangerang Harus Dibarengi Ketersediaan Ruang Merokok

Berhenti merokok–atau menolak jadi perokok, adalah kehendak bebas tiap individu dewasa. Mau merokok monggo. Mau berhenti ya silakan. Tidak usah ribet. Asal sudah dewasa.

Tidak perlu mengaitkan dengan situasi hari ini. Apalagi sampai menyebut perokok lebih berisiko fatal apabila terpapar COVID-19. Lantas kemudian menyebut kalau pandemi adalah momentum pensiun merokok secara massal. Berlebihan.

Terus, kita mau tutup mata pada penelitian yang menemukan potensi tembakau jadi obat penangkal virus corona? Apakah penelitian yang pro pada tembakau sudah otomatis keliru? Kan tidak begitu. Fenomena ini yang sering muncul di media: ketimpangan narasi.

Saya pernah menghentikan rutinitas merokok selama satu tahun, sebelum akhirnya merokok lagi. Kalian pun bisa. Mau berhenti merokok kapan pun bisa. Karena, sekali lagi, berhenti merokok adalah kehendak bebas. Bukan karena ditakut-takuti atau dipaksa. Kenapa saya waktu itu berhenti merokok? Ya pengen saja.

Hal inilah yang kemudian membedakan perokok dengan antirokok. Perokok (yang santun, tentunya) tidak akan memaksa dan merayu orang yang bukan perokok untuk ikut-ikutan merokok. Sedang antirokok akan memaksa hingga menakut-nakuti agar perokok mau berhenti.

Baca Juga:  Gelora Bung Karno, Semakin Cantik Semakin Diskriminatif

Kalaupun ada yang harus kita hentikan di masa pandemi, yakni kebiasaan merokok join. Kita hanya aman merokok kalau punya rokok dan korek sendiri. Kebiasaan join rokok ini sangat rentan dengan penularan berbagai penyakit, tak hanya COVID-19. Kita tidak pernah tau apa yang dialami oleh teman join kita. Dengan mengisap rokok yang sama, berarti kita sudah resmi bertukar organisme antar bibir. Jadi, sekalian ciuman saja stop join rokok!

Dengan demikian, kampanye berhenti merokok untuk menekan tingkat penularan COVID-19 itu ada benarnya, tapi kurang lengkap. Yang lengkap adalah berhenti merokok join.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd