Persoalan yang perlu dibahas dari diskon rokok sebenarnya hanya bagaimana regulasi dijalankan dengan benar. Tak perlu ada perdebatan lain mengenai hal ini seperti membawa ke arah kerugian negara atau kecemburuan pabrik kecil. Biar bagaimana pun, diskon rokok itu diperbolehkan, tinggal ditaati saja.
Pada konteks ini, perusahaan yang memberikan diskon pada harga rokok harus menyesuaikan batasan angka. Karena regulasi menyebut maksimal diskon yang diberikan 15% dari harga jual eceran, ya ditaati saja. Artinya, jangan kemudian sebungkus rokok dengan harga Rp 20 ribu dijual Rp 14 ribu, yang melebihi batas itu.
Harus diakui hingga saat ini masih ada produk yang melanggar aturan diskon rokok dengan menjual produknya harga lebih rendah dari regulasi. Tinggal kemudian, perusahaannya diberi peringatan dulu agar menepati aturan. Jika memang belum menaati, berikan sanksi sebagaimana kebijakan yang berlaku.
Diskon rokok ini sebenarnya diberikan sebagai stimulus agar produk tetap terserap dan cukai bisa tetap terbayar. Sesederhana itu saja, toh jika produk tidak terserap perusahaan akan kesulitan untuk membeli pita cukai lagi. Kalau pita cukai tidak dibeli, ya negara tidak mendapat pemasukan sebagaimana keinginan mereka.
Begini, perkara hitung untung rugi dari diskon rokok ini harus dipahami secara menyeluruh. Target pasar yang disasar oleh brand yang memberikan diskon rokok bukan pangsa pabrikan kecil menengah. Jadi, walau dapat diskon, ya tetap tidak mampu menyasar golongan itu.
Apalagi selisih dari golongan cukai lumayan tinggi, jadi ya belum tentu diskon rokok bisa membuat orang membeli produk tersebut. Dan golongan tarif ini juga yang membedakan kelas dari merek dari rokok itu sendiri. Semakin mahal ya semakin premium, nah rerata produk premium ini walau sudah didiskon ya harganya masih ada di atas RP 25 ribu juga.
Jadi, perusahaan kecil sebenarnya tidak perlu khawatir atau takut untuk bersaing. Toh sejauh ini, produk-produk baru dari golongan kelas 2 atau bahkan 2 justru mendapatkan tempat di hati konsumen. Misalkan Aroma Bold yang lumayan laku di pasaran. Atau produk semacam Lodjie Bold yang menjadi alternatif turun kasta para perokok.
Jika pun harus ada yang dikhawatirkan oleh semua stakeholder kretek adalah isu simplifikasi dan kenaikan tarif cukai. Simplifikasi atau penyederhanaan golongan cukai jelas sangat mungkin membuat industri kecil mati. Sementara kenaikan tarif di masa pandemi seperti ini tentu bakal membuat produksi turun dan penjualan anjlok.
Begini, jika simplifikasi terjadi, golongan tarif cukai ya tinggal satu atau dua saja. Pabrikan kecil bakal ditarif sama dengan pabrikan besar, karena golongannya sudah disamakan. Artinya, mau pabrik kecil atau besar, semuanya harus bayar cukai dengan angka yang sama besar. Tentu saja hal ini akan memberatkan pabrik rokok kecil, jika perusahaan itu tidak langsung mati karena simplifikasi.
Kalau sudah begini, lebih baik semua pihak bersepakat untuk melawan kedua hal tadi. Simplifikasi yang mematikan pabrikan kecil, serta kenaikan tarif cukai yang menyengsarakan semua pihak. Ingatlah, lawan kita adalah kebijakan yang tidak berpihak serta pemerintahan yang lalim. Maka hanya ada satu kata: lawan!
- Melindungi Anak adalah Dalih Memberangus Sektor Kretek - 29 May 2024
- Apakah Merokok di Bulan Puasa Haram? - 20 March 2024
- Betapa Mudahnya Membeli Rokok Ilegal di Warung Madura - 23 February 2024