Press ESC to close

Iuran BPJS Kesehatan Berdampak Pada Realisasi Pendapatan Daerah

Duit rokok yang berasal dari cukai ternyata berfungsi untuk iuran BPJS Kesehatan

Pajak dan cukai dari rokok adalah tiang penopang APBN. Fakta ini tak terbantahkan. Banyak hal yang lahir dan/atau berkembang berkat dana talangan dari “duit rokok”. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) adalah salah satunya.

Sekadar informasi, uang rokok dipakai menambal defisit BPJS Kesehatan. Dan ini adalah cerita lama. Pada tahun 2017, Kementerian Keuangan mengeluarkan PMK nomor 222 tahun 2017 yang mengatur alokasi minimal 50% Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) di masing-masing daerah untuk kepentingan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Iya, minimal 50%. Artinya bisa jadi lebih.

Padahal, alokasi DBHCHT di tiap daerah harus menyasar pada persoalan lain yang berkenaan langsung dengan komoditas tembakau. Peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi aturan soal cukai, dan pemberantasan rokok ilegal dipastikan hanya akan mendapat alokasi DBHCHT sebesar 50% atau kurang. Ya, poin-poin tersebut hanya menunggu sisa anggaran setelah dialokasikan ke JKN dengan BPJS Kesehatan sebagai lembaga penyelenggara.

Baca Juga:  Tarif Cukai Tidak Naik Tak Lantas Membuat Harga Rokok Menjadi Murah

Ternyata, penerapan kebijakan alokasi cukai untuk BPJS Kesehatan berimplikasi pada neraca keuangan beberapa daerah. Provinsi Banten, misalnya, mengklaim bahwa realisasi pendapatan daerah mengalami penurunan. Hal tersebut secara dominan dipengaruhi adanya pemotongan pajak cukai rokok dan pendapatan transfer dana bagi hasil (DBH).

Cukai Rokok Pengganti Iuran BPJS Kesehatan

Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy, menyebut  tidak tercapainya realisasi pendapatan daerah disebabkan oleh adanya kebijakan tentang tata cara pemotongan pajak rokok sebagai kontribusi dukungan tiap daerah pada program JKN, yang mensyaratkan adanya pemotongan atas realisasi pajak rokok sebagai pembayaran kontribusi ke BPJS Kesehatan.

Kritik serupa sebenarnya juga diwacanakan oleh antirokok. Bedanya, antirokok tidak menjadikan pendapatan daerah sebagai argumentasinya. Ada goal lain yang mereka kejar. Secara sederhana, mereka menyasar duit rokok untuk digunakan sebagai modal kampanye anti rokok. Mereka berpendapat pajak rokok di daerah seharusnya digunakan untuk mencegah dampak rokok, tidak secara langsung didebit ke iuran BPJS Kesehatan. Sama-sama menolak potongan ke BPJS, tapi tujuannya berbeda.

Protes mereka bawa ke jalur hukum. Judicial Review akan Perpres terkait, resmi mereka ajukan. Beruntung MA telah mengeluarkan putusan yang menolak permohonan keberatan hak uji materiil yang diajukan antirokok. Alokasi anggaran kesehatan daerah langsung didebet oleh Pemda ke iuran BPJS. Artinya, ruang mereka untuk ambil bagian sudah tertutup.

Baca Juga:  Perokok dalam Belenggu Pidana

Kembali menyoal pendapatan daerah, apa yang terjadi dengan Provinsi Banten bisa jadi variabel baru yang perlu dipertimbangkan. Bahwa potongan langsung ke iuran BPJS Kesehatan juga berdampak pada keuangan daerah–selain berpotensi menganaktirikan stakeholder pertembakauan. Bayangkan, hal serupa terjadi di daerah yang merupakan sentra penghasil tembakau.

Kebijakan alokasi pajak dan cukai rokok untuk BPJS Kesehatan ini boleh ditinjau ulang, asal tujuannya untuk kepentingan khalayak. Bukan semata-mata akal bulus demi kepentingan golongan. Apalagi golongan antirokok.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd