Momok kenaikan cukai dan wacana simplifikasi telah sejak lalu membayangi nasib petani di Indonesia. Kenyataan ini semakin terasa sejak naiknya tarif cukai sebesar 23% dan HJE 35% secara gradual di tahun 2020. Diperparah lagi oleh kondisi pandemi yang tak juga mampu diatasi pemerintah.
Ekonomi masyarakat di berbagai sektor mengalami pukulan yang luar biasa, ini fakta yang tak terhindarkan. Kalangan industri mau tak mau harus mengambil langkah efesiensi demi tetap bisa usaha. Industri kretek pun mengalami hal yang sama. Banyak pekerja yang terpaksa harus dirumahkan.
Celakanya, di tengah kondisi yang serba tak menguntungkan ini, wacana simplifikasi dimunculkan selalu oleh pemerintah. Sehingga membuat petani tembakau membawa desakan penolakan paket kebijakan itu demi kelangsungan nasib pertembakauan.
Desakan ini tentu sangat berdasar, mengingat industri rokok di Indonesia memiliki karakter yang berbeda dengan negara-negara lain. Jika kita tilik dari latar wacana penyederhanaan tarif cukai ini, sebetulnya ini bagian dari skema pengendalian tembakau, yang diadaptasi dari traktat global untuk menekan industri rokok.
Momok nyata dari kenaikan cukai di Indonesia kian tak terbantahkan, ratusan industri kretek skala kecil menengah bertumbangan dari waktu ke waktu. Pabrikan yang masih bertahan pada gilirannya harus mengurangi kuota produksi untuk tetap bisa beroperasi. Serapan tembakau maupun cengkeh dari petani mengalami penurunan yang drastis. Petani terhimpit kesulitan.
Suka tidak suka, kenaikan tarif cukai secara signifikan pada 2020 ini membuat industri dan petani menanggung kondisi yang benar-benar buruk. Sudah tren konsumsi berkurang, produksi harus berkurang, setoran ke negara malah dilipatgandakan. Tailedig memang.
Pada konteks simplifikasi, mungkin pemerintah melihat pabrikan besar yang notabene bermodal besar dapat bertahan. Mungkin memang begitu di lapangan. Persoalannya, apakah kemudian pabrikan kecil menengah mampu bertahan dengan kebijakan tersebut? Jika tidak, berapa banyak pekerja yang harus kehilangan sumber penghidupannya?
Dalam hal ini seharusnya negara mampu melihat kemampuan industri secara menyeluruh. Bukan asal saja mendorong wacana pengendalian dan paket kebijakan. Harus dilihat dari berbagai potensi dan prioritas, pada konteks kenaikan cukai, secara langsung bukan saja petani yang mengalami dampaknya. Buruh tani di sektor pertembakauan ikut kena imbas.
Belum lagi jika wacana penyederhanaan tarif cukai benar-benar diberlakukan. Sebab pada dasarnya, kebijakan simplifikasi adalah upaya untuk menyamaratakan tarif cukai yang bakal dibayarkan pabrikan. Mau kecil menengah besar, semua bayar cukai dengan jumlah yang sama besarnya. Pabrikan besar mungkin aman-aman saja, sementara yang lain berpotensi mati.
Dengan kondisi semacam itu, pabrikan besar jelas bakal diuntungkan karena tumbangnya banyak pabrik akibat paket kebijakan ini. Persaingan pasar bakal makin kecil, dan pada akhirnya hanya pabrikan besar yang mampu bertahan. Inikah yang dimau pemerintah melalui kebijakan yang membunuh itu?
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024