Press ESC to close

Beban Ganda Industri Kretek, Hadapi Krisis dan Diterkam Kebijakan

Salah satu hal membanggakan yang bisa kita bahas tatkala membahas industri Kretek adalah ketahanannya terhadap krisis. Pada krisis moneter tahun 1998, industri ini berhasil bertahan walau ya tetap diterjang berbagai persoalan. Pada tahun 2008 pun begitu, meski ditekan krisis, industri ini bisa tetap moncer.

Hal yang sama tentu juga kita harapkan dari industri kretek ketika menghadapi krisis ekonomi di masa pandemi ini. Walau memang sangat berat, tetapi industri ini tetap diharapkan mampu bertahan. Apalagi, di tengah tahun ini, industri tetap bisa memberikan pemasukan cukai yang signifikan bagi negara.

Meski begitu, industri ini bukannya sama sekali tidak terdampak oleh krisis dan pandemi. Apalagi, kenaikan tarif cukai yang signifikan sebelum pandemi saja sudah memberatkan industri. Jika kemudian negara melulu membuat kebijakan yang kontraproduktif, saya kira berat kemungkinan industri ini benar-benar bisa bertahan.

Ada tiga hal yang kiranya saat ini dapat mempengaruhi keberlangsungan industri kretek. Pertama, adalah kenaikan tarif cukai yang tinggi. Ingat, dengan tingginya tarif cukai maka pabrikan akan kesulitan membeli pita cukai. Sementara tanpa membeli pita cukai pabrikan tidak bisa melakukan produksi. Hal yang terburuk dari semua ini adalah kebangkrutan dan pemecatan yang dihadapi karyawan.

Tidak hanya itu, naiknya tarif cukai yang tinggi ini juga berdampak pada maraknya rokok ilegal. Ya karena produksi rokok (setidaknya) menurun akibat tarif tinggi, maka di pasaran beredar dengan asyik rokok tanpa cukai. Hal ini tentu merugikan pabrikan juga negara.

Baca Juga:  Alokasi DBHCHT yang Baik Ala Sulawesi Selatan

Kedua, memastikan produksi tetap berjalan di masa pandemi ini tentu memakan biaya. Selain harus membeli berbagai perlengkapan kesehatan serta alat pelindung diri untuk pekerja, yang itu juga memakan biaya tidak sedikit, turunnya angka pembelian karena pandemi ini berdampak sangat besar bagi jalannya produksi. Untuk apa produksi banyak jika yang beli tidak banyak?

Terakhir, dan yang paling berbahaya, adalah memiliki pemerintahan yang berorientasi memeras uang dari industri. Sudah kembali mewacanakan kenaikan tarif cukai di kisaran 11%, pemerintah juga memastikan diri akan menjalankan simplifikasi cukai yang sangat merugikan pabrikan lokal, terutama yang kecil dan menengah.

Begini, di kondisi pandemi seperti sekarang membayar tarif cukai dengan harga saat ini saja sudah berat. Jika kemudian tarif cukai kembali dinaikkan, apalagi ada di angka setinggi 10-11%, maka industri sudah tidak bakal sanggup menanggung beban produksi. Pilihan paling mudah tentu menurunkan jumlah produksi (lagi) atau melakukan efisiensi.

Kemudian terkait simplifikasi cukai, perlu diketahui bahwa kebijakan ini hanya berpihak pada korporat asing besar. Kebijakan yang menguntungkan Philip Morris lewat Sampoerna dan British American Tobacco lewat Bentoel yang bisa memproduksi rokok putih dengan tarif yang sama dengan kretek. Tentu mereka bakal senang saja, toh kekuatan modal mereka cukup saja untuk menghadapi tarif tinggi.

Baca Juga:  Puntung Rokok, Pelaku Utama Pembakaran Gedung Kejaksaan

Namun, bayangkan jika pabrikan menengah macam Nojorono harus dipaksa bersaing dengan raksasa asing itu, tentu mereka bakal kalah saing. Tidak hanya kalah saing, mereka juga akan kalah modal karena harus membayar cukai yang sama dengan industri asing. Hal ini jelas sangat tidak berpihak pada industri lokal yang sudah puluhan tahun membangun perekonomian Indonesia.

Sudah menghadapi tantangan berat, kebijakan busuk negara seperti tadi justru membuat industri makin tiarap. Sudahlah, Pak Jokowi, ketimbang lambat laun mematikan, lebih baik diilegalkan saja industri rokok. Biar mati penghidupan semua orang di tangan Anda. Toh, dengan kebijakan ini saja Anda sudah dicap sebagai pengkhianat bangsa oleh pemangku kepentingan di industri kretek. Camkan itu, Pak!

 

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit