Press ESC to close

Rokok Herbal itu Lebih Sehat, Benarkah?

Sebutan rokok herbal menjadi paradoks tersendiri di tengah maraknya isu kesehatan yang mendiskreditkan rokok. Kemunculannya saya tandai pasca Peraturan Pemerintah 109/2012 disahkan. Jurus pemasaran produk berlabel ‘herbal’ itu terbilang tidak sekonvensional produk rokok lainnya.

Ketika banyak kalangan membahas hal-hal kontroversial terkait isu rokok dan kesehatan, di situlah kemudian produk tembakau yang diberi label ‘herbal’ sehingga diasosiasikan sebagai sesuatu yang sehat bahkan dianggap lebih sehat dibanding yang tidak.

Padahal jika kita tilik lagi, sejarah-budaya kretek pada mulanya memang dimanfaatkan sebagai media penyembuhan. Tanpa harus diberi embel-embel apapun, narasi tentang kretek dengan komposisi yang dikandungnya dipercaya memberi manfaat bagi kelangsungan tubuh.

Betapapun itu, unsur nikotin pada tembakau sebelum ada paradigma kesehatan modern sudah dimanfaatkan untuk kebutuhan pengobatan. Banyak literatur yang dapat dipelajari tentang ini. Begitupula jika bicara soal kandungan rempah pada kretek.

Namun, seiring perkembangannya paradigma kesehatan modern menggeser posisi tembakau, lebih jauh lagi menempatkan rokok sebagai musuh bagi kesehatan. Industri kesehatan tidak lagi melihat adanya manfaat dari produk tembakau. Perokok menjadi pihak yang kerap kali dicap buruk.

Di balik itu semua, melalui buku Nicotine War nalar publik dibuat tersengat akan adanya perang bisnis nikotin yang memainkan isu kesehatan. Alih-alih memerangi tembakau, industri farmasi justru memanfaatkan nikotin sebagai produk pengentas ketergantungan rokok.

Ini hanyalah akal-akalan industri farmasi ketika menggunakan dalih kesehatan untuk menggeser pasar rokok. Istilah yang digunakan dalam upaya perebutan pasar ini adalah dengan dimunculkannya berbagai betuk produk NRT (Nicotine Replacement Therapy).

Baca Juga:  Sewindu Komunitas Kretek dan Tugas Kebudayaan yang Berestafet

Tak heran jika kemudian, banyak bentuk produk olahan tembakau, di antaranya kemunculan rokok elektrik. Dalam upaya merebut nalar konsumen rokok, pula bisnis ini menggunakan narasi yang membuat perokok terhasut untuk kemudian beralih.

Dengan menggunakan narasi bahwa produk tersebut lebih sehat daripada rokok. Produk alternatif dari mengonsumsi nikotin itu berhasil mendapatkan pasarnya. Nah, di tengah kondisi yang demikian, kontroversi terkait rokok dan kesehatan mengemuka menjadi pergunjingan di berbagai kalangan.

Masyarakat kita memiliki kepercayaan tersendiri dalam mengupayakan kesehatan dalam kehidupan sehari-hari. Produk jamu yang berbahan baku rempah-rempah telah dikenal memiliki manfaat bagi kebugaran tubuh, diyakini memberi faedah untuk merawat kesehatan sehari-hari.

Bahan baku yang dulunya digunakan dengan cara diseduh sebagai jamu, kemudian berganti penyebutan yang terkesan lebih mutakhir, yakni penyebutan ‘herbal’. Istilah inilah yang kemudian digandrungi para pelaku usaha untuk melabeli produk yang dulunya disebut jamu sebagai produk herbal.

Pelabelan ini hadir sebagai bentuk pembeda dari istilah sebelumnya yang terlanjur dianggap kuno. Mungkin lantaran istilah jamu kurang terdengar ilmiah dibanding istilah herbal. Istilah ini menjadi populer bahkan merebut wacana publik dalam memandang kesehatan.

Bisnis pelabelan ini bukan hanya terjadi pada produk-produk yang memanfaatkan isu kesehatan. Pada ranah agama yang nilai-nilainya telah dikomodifikasi oleh segelintir pihak, pada muaranya berhasil membelah nalar publik. Mencipta pasar tersendiri di tengah persoalan krisis identitas di masyarakat.

Baca Juga:  Menalar Citra Bali Ketika Aturan Terhadap Rokok Semakin Ketat

Salah dua di antaranya adalah dengan pelabelan syar’i terhadap berbagai produk yang oleh golongan mayoritas kerap menjadi perhatian. Bisnis pelabelan ini mendapatkan pasarnya dengan memanfaatkan ceruk kontroversial.

Dalam konteks rokok herbal, bisnis pelabelan ini juga digunakan untuk merebut perhatian konsumen. Sejatinya, rokok yang menggunakan bahan baku tembakau secara alamiah tidak berarti buruk bagi kesehatan. Namun, jika rokok disebut memiliki faktor risiko, tentu saja itu bukan hal keliru.

Jangankan tembakau, gula yang dikenal berguna bagi kelangsungan tubuh juga memiliki potensi yang berisiko bagi kesehatan. Pelabelan atas produk konsumsi apapun sebetulnya hanyalah akal-akalan pasar saja, targetnya ya itu tadi merebut nalar konsumen.

Apakah ketika ada produk yang disebut rokok herbal berarti dapat membuat kita sehat? Lantas yang tidak menggunakan pelabelan ‘herbal’ merupakan produk yang tidak sehat? Bagi saya ya sama-sama berisiko jika tidak dilandasi nalar waras kita dalam memaknai produk konsumsi. Ada gitu produk konsumsi yang tak memiliki faktor risiko?

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah