Press ESC to close

Menakar Efektifitas Area Merokok Malioboro

Area merokok Malioboro dalam waktu dekat akan selesai dibuat. Kabarnya lima buah bilik khusus disediakan untuk menunjang keberadaan KTR pada destinasi wisata tersebut. Tentu saja ini menjadi kabar baik atas persoalan KTR yang selama ini kerap mengabaikan penyediaan area merokok.

Di berbagai kasus, Perda KTR pada sejumlah daerah hanya menetapkan ruang publik sebagai kawasan tanpa rokok saja. Tanpa mau mengedepankan asas yang memfasilitasi rasa keadilan bagi semua pihak. Salah satunya terkait pengadaan ruang merokok.

Sebagaimana kita tahu, Malioboro memiliki daya tarik istimewa bagi para pelancong dari berbagai daerah. Setiap harinya selalu ramai berbagai aktivitas  masyarakat, di akhir pekan lonjakan wisatawan bisa membuat Malioboro menjadi padat lalu lalang.

Apalagi jika di musim liburan. Wisatawan asing dan domestik berbaur mencipta suasana majemuk nan asri. Sejak wajah Malioboro mengalami pembenahan, kita akan merasakan suasana lebih menyenangkan berada di Malioboro. Nah, ditambah lagi dengan adanya area merokok Malioboro.

Penyediaan lima bilik yang dibangun secara khusus ini nantinya terdapat di sisi kanan dan sisi kiri kawasan yang selalu ramai itu. Yogyakarta sebagai kota berhati nyaman tentu memiliki cita rasa tersendiri, apalagi menyoal nilai estetik nan epik dari sejumlah spot-spot bersejarah.

Baca Juga:  Polemik dan Bahaya Rokok Elektrik

Hanya saja dari rencana penyediaan bilik khusus tersebut, kita tentu mempertanyakan soal ukuran yang disediakan. Rata-rata jika kita tilik dari beberapa tempat khusus merokok, tidak semua memadai ukurannya. Memadai di sini artinya soal aspek manusiawinya. Bagi saya, itu tak sepenuhnya memberi rasa nyaman.

Bayangkan, jika bilik yang dibangun hanya untk kapasitas tiga sampai empat orang. Sementara orang yang merokok bisa lebih dari sejumlah itu. Tentu bilik itu akan serasa ruang penyiksaan. Parah lagi, kalau itu tak berhubungan langsung dengan udara terbuka. Bukan main sumpeknya.

Penyediaan lima bilik ini tentu saja tak sebanding dengan jumlah pelancong dan banyaknya para pedagang yang sebagian besar perokok. Tak terbayangkan juga, misalnya kalau sopir becak dan kusir delman turut serta untuk merokok di bilik tersebut.

Walaupun biasanya saat mereka istirahat, aktivitas merokok mereka bisa dilakukan di kendaraan yang menjadi alat penafkahan mereka. Hitung-hitung sambil menunggu pelanggan. Namun, jika untuk urusan merokok saja harus masuk bilik dulu, kok agak gimana gituloh.

Baca Juga:  Kenapa Antirokok Hanya Mendorong Pengendalian Tembakau?

Tetapi, yang namanya peraturan ya harus ditaati tanpa pandang bulu. Bahkan nantinya jika jumlah bilik yang terbilang sedikit itu tidak dapat menampung jumlah perokok. Dikuatirkan akan ada perokok yang memilih merokok di luar bilik karena merasa sumuk.

Dengan kata lain, bilik yang dibuat tanpa perencanaan yang matang malah jadi tidak efektif. Mengingat asas KTR ini untuk menjamin rasa nyaman bagi semua lapisan masyarakat. Namun, jika kehadiran bilik itu tak seimbang dengan kebutuhan. Jelas akan menimbulkan masalah baru, kalau cuma dibuat sekadar ada, apa artinya itu coba? Hehe.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah