Banyak orang memilih untuk tetap merokok saat pandemi. Merokok dianggap sebagai salah satu solusi pelepas penat dan stres akibat krisis yang terjadi. Tiba-tiba sekelompok orang naik panggung dan menyebut aktivitas merokok saat pandemi itu berbahaya dan perlu diintervensi secara khusus.
Seperti biasa, kelompok antirokok akan terus berinovasi dalam rangka kampanye hitam soal rokok. Suatu waktu ada yang menyebut rokok jadi biang keladi kemiskinan. Lain waktu, muncul narasi bahwa asal usul tembakau adalah air kencing iblis yang jatuh ke bumi. Di kesempatan lain, ada yang menyebut rokok haram karena filternya mengandung darah babi. Inovasi adalah harga mati.
Kita sama-sama tahu kepentingan kelompok antirokok. Isu kesehatan adalah senjata utama mereka. Dan, voilá, harinya telah tiba. Krisis kesehatan terlalu sayang untuk tidak dijadikan barang dagangan. Aji mumpung.
Situasi krisis kesehatan yang melanda dunia seperti saat ini jelas jadi momentum bagi antirokok. Mereka menemukan inovasi baru dalam materi kampanye; bahaya rokok dan corona. Strategi disusun, salah satunya adalah menyisipkan agenda-agenda pengendalian tembakau dalam proses penanggulangan pandemi.
Adalah Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), kelompok yang mengusulkan agar pengendalian konsumsi rokok turut dimasukkan dalam pedoman penanganan COVID-19 oleh seluruh satuan tugas di pusat maupun di daerah. Lha, kok?
Berdasarkan survei yang mereka lakukan, konon pandemi COVID-19 tak merubah perilaku merokok masyarakat. Bahkan, masih menurut mereka, intensitasnya cenderung meningkat. Survei mereka lakukan pada periode Mei-Juni yang lalu. Inilah yang mendasari ide dan gagasan mereka.
Ide dan gagasan yang dimaksud adalah saran agar larangan merokok saat pandemi dan kenaikan tarif cukai turut masuk ke dalam pedoman penanganan COVID-19. Mereka juga menyarankan agar pemerintah menyediakan layanan berhenti merokok pada fasilitas kesehatan serta meningkatkan ukuran gambar peringatan pada kemasan rokok. Ingat, semua saran tersebut diajukan sebagai muatan pedoman penanganan COVID-19.
Ide-ide tersebut jelas-jelas sangat jauh di luar logika manusia biasa. Hanya manusia luar biasa yang bisa menemukan relevansi gambar tengkorak di bungkus rokok dengan penyelesaian pandemi. Pasti tak terpikir oleh manusia biasa seperti kita bahwa semakin besar ukuran gambar peringatan di bungkus rokok, akan semakin cepat pandemi berlalu.
Perilaku merokok masyarakat Indonesia sudah ada sejak dahulu, sejak jaman nenek moyang. Tembakau dan rokok bahkan telah menjadi elemen dari kebudayaan oleh sebagian kelompok masyarakat. Pandemi tentu mengancam peradaban, tapi, logika absurd adalah ancaman lainnya. Jadi, kampanye antirokok pun sebaiknya menggunakan argumentasi yang masuk akal.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022