Press ESC to close

Risiko Merokok Meningkat di Masa Pandemi, Benarkah?

Narasi tentang risiko merokok sangat sering kita dengar. Perokok disebut berhadap-hadapan dengan ancaman marabahaya dalam berbagai bentuk, mulai dari kemiskinan, dosa, sakit penyakit, hingga kematian. Tak lain dan tak bukan, narasi ini dibangun oleh kelompok antirokok.

Di masa pandemi seperti saat ini, kelompok antirokok semakin gencar membangun citra buruk rokok. Krisis kesehatan nampak terlalu sayang untuk dilewatkan oleh mereka. Mereka semakin masif mengampanyekan risiko merokok yang diklaim meningkat pada masa pandemi.

Di Indonesia, Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) jadi salah satu elemen yang paling nyaring berteriak soal klaim ini. Mereka bahkan mendorong agar aktivitas merokok dimasukkan ke dalam kategori perilaku yang harus dibatasi selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Ide untuk memasukkan larangan merokok ke dalam pedoman penanganan COVID-19 jelas berlebihan. Setidaknya begitu menurut saya, dan kelompok peneliti di Prancis.

Di periode awal pandemi, para peneliti di rumah sakit Pitié-Salpêtrière, Paris, menemukan hipotesa awal tentang adanya kemungkinan zat nikotin mampu melindungi orang dari infeksi corona. Jean-Pierre Changeux, neurobiologist Prancis yang terlibat dalam riset, menyebut bahwa nikotin bisa menghalangi virus masuk sel tubuh sehingga mencegah penyebaran. Nikotin juga diduga kuat dapat mengurangi reaksi berlebihan sistem imun tubuh yang sering ditemukan pada kasus infeksi COVID-19 yang fatal.

Baca Juga:  Semangat Komisi IX DPR RI Menggantung Leher IHT dengan RUU Kesehatan

Hipotesa para peneliti Prancis justru berbanding terbalik dengan kampanye antirokok.

Sudah ada banyak contoh di hadapan kita. Tidak satu atau dua orang yang non perokok juga positif terpapar virus corona. Bahkan, beberapa atlit kenamaan dunia pun tak luput dari serangan virus yang tergolong baru ini. Dari sini jelas, semua orang berpotensi terpapar COVID-19, baik perokok maupun non perokok.

Lalu, apa benar merokok bisa meningkatkan risiko terpapar COVID-19?

Kembali ke penelitian di Prancis. Riset mereka pada bulan April yang lalu menemukan fakta terbalik. Dari 11.000 pasien positif COVID-19 yang dirawat di beberapa rumah sakit di Paris pada saat itu, hanya sekitar 8,5 persen yang perokok.

Temuan serupa juga dipublikasikan oleh The New England Journal of Medicine satu bulan sebelumnya. Data menunjukkan bahwa dari 1.085 orang yang terinfeksi virus corona di Cina (Maret 2020) 12,6 persen adalah perokok, 1,9 persen mantan perokok, dan 85,4 persen tidak pernah merokok.

Risiko merokok tentu ada, tapi kita tidak perlu latah panik dan ketakutan. Setelah mengetahui dua penelitian tersebut, wajar saja kalau kita mempertanyakan kembali keabsahan klaim dari antirokok. Di samping itu, kita tetap perlu waspada, tentu saja.

Baca Juga:  Tips Mudik Lebaran Perokok

Temuan di Prancis dan Cina juga tidak bisa dijadikan klaim untuk menyebut perokok kebal dari virus corona. Sekali lagi, perokok tidak kebal dari virus corona. Kita tidak perlu mengikuti kebiasaan membuat klaim serampangan ala antirokok.

Penelitian terbaru menyebut bahwa mutasi virus corona menjadikannya lebih mudah menular. Alih-alih menyisipkan kepentingan antirokok, ada baiknya peringatan serupa ditujukan kepada seluruh elemen masyarakat.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd