Press ESC to close

Rokok Ilegal; dari Negara, oleh Negara, untuk Negara

Negara kerap kali menyikapi berbagai hal dengan pendekatan ekonomis. Maksudnya, bermacam-macam problematika sosial dilihat untung dan ruginya. Sudut pandang ini nampak dalam berbagai konteks, termasuk soal rokok ilegal.

Pertama, rokok ilegal memang meresahkan. Jutaan batang rokok tanpa cukai disita dan diberangus aparatur negara, tapi peredarannya tak mati-mati. Setiap kali razia, penyitaan dan pemberangusan rokok ilegal tentu memakan biaya. Ada ‘ongkos’ untuk menjalankan semua operasi itu. Dan ongkos itu harus terus keluar tanpa tahu kapan akan selesai.

Fenomena ini pun dilihat sebagai ancaman pada keuangan negara, atau dengan kata lain negara takut kehilangan penerimaan. Pita cukai rokok jelas ‘produk unggulan’ dari toko yang bernama negara. Uang yang diterima negara hasil dari penjualan pita cukai pada industri rokok tak main-main jumlahnya. Ini yang membuat negara geram dengan peredaran rokok tanpa cukai.

Cara pandang demikian tak sepenuhnya salah. Negara memang dirugikan, dan perekonomian bisa terancam. Tapi, negara harus bisa otokritik, meluruhkan segala kesalahan internal, untuk dapat menyelesaikan suatu perkara. Rokok ilegal beredar di masyarakat dengan harga jual yang rendah. Barang murah tentu jadi pilihan masyarakat (khususnya menengah ke bawah) ketika produk sejenis yang legal dijual terlampau mahal.

Baca Juga:  Suara Penolakan Revisi PP 109/2012 Dari Senayan

Harga Jual Eceran (HJE) rokok legal sangatlah mahal. Ini semua dampak dari kebijakan negara yang menaikkan tarif cukai dan HJE yang tinggi di awal tahun kemarin. Ini belum ditambah faktor non teknis seperti krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19 yang meluluhlantakan ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia.

Daya beli masyarakat menurun. Standarisasi konsumsi pun mengikuti. Maka, rokok murah jadi solusi bagi para perokok yang menjerit melihat label harga rokok di Indomaret. Sialnya, banyak dari antara rokok murah yang beredar ternyata ilegal, alias tanpa cukai.

Lantas apa yang negara siapkan sebagai formula menyikapi fenomena ini? Tidak tahu. Terus terang saya tidak tahu apa langkah strategis yang disiapkan negara untuk setidaknya menekan peredaran rokok ilegal. Paling-paling, ya, sosialisasi dengan seminar, himbauan dan iklan. Mentok-mentok, ya, razia lagi, penyitaan lagi, dan pemberangusan lagi. Tentu dengan mengeluarkan ongkos lagi.

Di atas semua itu, negara melalui Kemenkeu justru telah menyiapkan regulasi yang menjamin bahwa tarif cukai dan HJE rokok akan terus naik secara gradual hingga tahun 2024. Ironis.

Baca Juga:  Ketika Kretek Turut Membangun Rumah Sakit

Peredaran rokok tanpa cukai jelas akan berpengaruh pada angka penjualan rokok bercukai. Angka penjualan tersebut kemudian akan mempengaruhi produktifitas industri. Dan, pada titik tertentu, akan berpengaruh pada para pekerja alias buruh linting dan petani. Di titik inilah negara gagal paham.

Bahwa pemasukan negara harus diselamatkan, saya sepakat. Tapi, kita tidak bisa membersihkan rumah dengan sapu yang kotor, bukan?

Regulasi dan kebijakan adalah awal dari segala kekusutan ini. Jadi, nafsu mengeruk untung dari cukai rokok harus dikendalikan, agar benang kusut ini tak sampai melilit leher jutaan buruh dan petani. Kalau sudah begitu, boro-boro dapat keuntungan, bisa bertahan hidup saja sudah hebat.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd