Press ESC to close

Rokok Murah Jadi Penyebab Anak Merokok, Benarkah?

Berbagai isu dimainkan oleh antirokok demi agenda ‘membunuh’ kretek. Dari sekian banyak isu, perokok anak adalah tema yang cukup sering mereka repetisi. Dalam konteks ini, mereka menyebut harga rokok murah sebagai penyebab tingginya prevalensi perokok anak.

Baru-baru ini sejumlah pegiat perlindungan anak bersama Yayasan ALIT Indonesia melakukan survey soal prevalensi perokok anak. Dari survey itu mereka mengklaim bahwa rata-rata perokok anak mengggunakan sebagian uang sakunya untuk membeli rokok.

“Harga rokok yang dibeli anak bervariasi, dari pernyataan responden dan dibandingkan dengan harga pada pita cukai, terdapat beberapa merek yang didapatkan anak-anak secara lebih murah. Temuan kami, ada anak-anak yang mendapatkan rokok lebih murah dibandingkan harga yang dibanderol,” ujar Lisa Febriyanti, Tim Baseline Survei Yayasan ALIT Indonesia.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah benar harga rokok di Indonesia murah?

Diskursus menyoal harga rokok sudah bias dan cenderung absurd. Berulang kali tarif cukai rokok dinaikkan oleh pemerintah–yang secara otomatis berdampak pada kenaikan harga jual rokok, berulang kali pula kelompok antirokok memainkan narasi harga rokok murah. Kontradiktif.

Baca Juga:  Menyoal Roadmap Industri Hasil Tembakau

Awal tahun 2020 pemerintah memberlakukan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) yang baru. Tarif cukai naik 25 persen, sedangkan HJE naik hingga 35 persen. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah harga rokok yang melonjak di pasaran. Itu masih disebut murah oleh mereka. Lantas berapa harga rokok yang mereka inginkan?

Pemerintah bahkan sudah menetapkan bahwa tahun 2021 tarif cukai rokok akan kembali dinaikkan. Artinya, harga jual rokok pun akan turut terkerek naik. Sudah cukupkah itu? Sepertinya tidak.

Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani telah meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024. Dalam regulasi tersebut muncul beleid yang menjelaskan bahwa cukai rokok akan naik secara gradual hingga tahun 2024. Artinya, hingga tahun 2024 nanti harga rokok akan terus naik.

Yustinus Prastowo, pengamat ekonomi dan perpajakan, menyebut harga rokok di Indonesia termasuk mahal. Penilaiannya harus berdasarkan indeks keterjangkauan yang diukur melalui rasio Price Relative to Income (PRI) atau rasio yang memperhitungkan faktor daya beli ke dalam analisa keterjangkauan harga.

Baca Juga:  Saya Merokok, Saya Menabung, Saya Bisa Beli barang Mahal

“Kalau dilihat dari pendapatan per kapita, harga rokok kita sudah termasuk tertinggi di dunia,” kata Yustinus dilansir dari CNN Indonesia, 2018.

Kembali ke fenomena anak merokok, rasanya para perokok pun pasti sepakat bahwa anak belum sepantasnya menjadi perokok. Regulasi pun sudah menetapkan batas usia perokok adalah 18 tahun ke atas. Harusnya regulasi ini diterapkan secara maksimal. Bukan dengan memainkan narasi antirokok dengan mengatasnamakan anak.

Bagi saya, menjadikan harga rokok murah sebagai alasan anak-anak merokok adalah upaya melarikan diri para orang tua dari tanggung jawab pengawasan. Itu sama saja mencari kambing hitam. Selain itu, isu ini sarat kepentingan antirokok.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd