Wacana simplifikasi cukai yang telah mengemuka dari pemerintah dilandasi narasi pembatasan dan target devisa. Alih-alih pembatasan konsumsi namun dibaliknya berimplikasi membatasi iklim persaingan, terutama para pesaing di sektor pabrikan kecil.
Sebagaimana kita tahu, pabrikan kecil golongan II dan III bukanlah golongan bermodal besar. Logika simplifikasi atau penyerdahanaan cukai ini berfokus pada penyeragaman tarif, golongan kecil tidak akan mampu mengikuti beban yang sama dengan yang besar, itu sudah pasti.
Tak ayal jika simplifikasi cukai berlaku, banyak pabrikan kecil jatuh bangkrut tak kuat lagi berproduksi. Maka, pasar industri rokok dalam negeri hanya akan dikuasai oleh para pemain besar. Ya sudah tentu mereka sudah mapan dan jauh lebih berdaya secara permodalan.
Ketika kondisi itu terjadi maka bukan mustahil siasat akuisisi akan diberlakukan alih-alih penyelamatan. Fakta semacam ini sudah terjadi sejak memasuki tahun 2000-an , banyak perusahaan rokok dalam negeri yang kalah akibat terpukul regulasi pengendalian tembakau.
Jika kita runut lagi asal usul agenda pengendalian tembakau ini sesungguhnya tak lepas dari kepentingan asing. Sejurus dengan agenda politik dagang yang di belakangnya terdapat kepentingan industri kesehatan. Yakni farmasi. Target pengendalian ini golnya adalah pengalihan produk konsumsi.
Konsumen rokok sedunia ditakut-takuti melalui isu kesehatan, kemudian pasar nikotin akan dibanjiri produk pengganti (NRT). Produk pengganti itulah yang nantinya akan merebut pasar perokok. Di antara isu kesehatan yang masif menyoroti rokok, agenda itu sendiri memfokuskan pada regulasi cukai.
Negara-negara produsen rokok harus mau mengikuti klausul yang sudah ditetapkan melalui traktat global FCTC. Poin traktat tersebut menekankan untuk adanya regulasi cukai yang intinya harus membuat tarif cukai pada angka yang tinggi. Merujuk sejarahnya, traktat ini sendiri dibidani oleh WHO.
Beberapa waktu lalu pihak WHO menekankan lagi soal simplifikasi yang didasari untuk menurunkan angka perokok dunia. Meski pada faktanya itu semua mitos belaka. Naiknya cukai tiap tahun tidak lantas berbanding lurus dengan turunnya angka perokok.
Celakanya, cara pandang pemerintah disetir betul oleh skema pengendalian itu. Struktur tarif yang majemuk di sektor industri rokok saat ini tengah diarahkan ke dalam agenda simplifikasi, benarkah itu dapat menjadi solusi dari problem kesehatan masyarakat? Bagi saya ini satu langkah konyol yang diambil pemerintah.
Jika kita tilik lagi problem kesehatan masyarakat, sejatinya tak melulu soal konsumsi rokok. Ada sekian hal penting lainnya yang menjadi faktor penyebab. Belum lagi jika kita bicara soal sistem pengelolaan BPJS yang busuk.
Pemerintah kok ya taklik betul mengikuti arahan rezim kesehatan dalam menyoroti rokok sebagai musuh bersama. Ini yang menjadi pertanyaan penting, katanya kita bangsa berdaulat, diatur-atur agenda asing kok gampangan, hih.
Justru nih ya, dengan adanya struktur tarif yang majemuk pada industri rokok di negeri ini, iklim usaha dalam negeri dapat terjaga baik. Artinya, modal kecil dan modal besar mendapatkan proporsi (hak) yang bersesuai dalam upaya menjaga iklim usaha. Cuaca ekonomi yang baik itu yang dinamis dari situ diisyaratkan adanya kemajemukan, bukan ekonomi yang ketergantungan dengan modal besar.
Jika mengikuti tekanan penyeragaman tarif, itu sama saja kita mengikuti momok yang semu. Dalih sebagai solusi justru akan membawa kesengsaraan ekonomi. Solusi dari problem kesehatan masyarakat bukan pada simplifikasi, melainkan pada keseriusan pemerintah dalam menjalankan sistem yang ada.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024