Press ESC to close

Zat Adiktif Bernama Cukai Rokok

Produk tembakau kerap disebut-sebut mengandung zat adiktif dalam berbagai narasi kesehatan. Disebut lebih jauh dapat membunuh penikmatnya. Berbagai penyakit mengerikan selalu saja dikaitkan dengan dampak dari nikotin yang dikonsumsi perokok.

Dalam beragam kampanye kesehatan, masyarakat luas ditakut-takuti akan bahaya yang bahkan cenderung mengada-ada. Misalnya saja, terkait kampanye antirokok yang memainkan isu perokok pasif. Momok akan bahaya nikotin dan asap rokok terus digulirkan di banyak kesempatan.

Sementara, negara sebagai pihak yang turut mengatur tata niaga pertembakauan ini tak berhenti juga menyesap uang cukai. Sebagaimana kita tahu, tiap tahun uang dari pajak dan cukai produk tembakau mencapai triliunan rupiah.

Melambungnya tarif cukai 2020 merupakan kenaikan tertinggi sepanjang sejarah. Ditambah pula pada 2021 nanti, tarif cukai akan dibuat naik lebih tinggi lagi. Diperkirakan oleh sejumlah pihak, serapan tembakau akan anjlok sampai 30% akibat dari kenaikan cukai 2021 nanti.

Secara general dari perkara ini, pemerintah mengestimasi penerimaan pajak rokok pada tahun 2021 sebanyak Rp 17,03 triliun, dianggap naik tipis dibanding tahun 2020 yang diproyeksikan sebesar Rp 16,96 triliun.

Baca Juga:  Menjadi Manusia yang Bukan Kalkulator

Diketahui juga, 75 persen dari 50 persen total penerimaan pajak rokok yang diterima setiap daerah baik provinsi, kabupaten maupun kota, wajib dialokasikan untuk kepentingan kesehatan nasional. Hal ini mengacu pada Perpres No.82/2018 tentang JKN.

Naiknya tarif cukai dari tahun ke tahun jelas membuktikan, bahwa negara membutuhkan pendapatan yang dihasilkan dari produk tembakau. Uang dari bisnis barang yang dicap mengandung zat adiktif ini justru membuat pemerintah ketergantungan. Jelas, siapa yang adiksi dalam konteks ini.

Bahkan devisa dari sektor tembakau yang seperti tahun sudah-sudah, digunakan pula untuk menambal defisit BPJS. Padahal, jika kita tilik secara kritis, persoalan kesehatan di negeri ini akibat tidak terkawalnya sistem dengan baik.

Sistem pengelolaan yang bervisi pada kesejahteraan rakyat, justru menimbulkan banyak ketimpangan. Pemerintah bukannya memperbaiki sistem yang ada, justru ini malah ketergantungan pada duit cukai. Duit yang dalam paradigma hukum disebut sebagai pajak dosa (sin tax).

Dari sini kita dapat menyimpulkan, orientasi pemerintah terhadap sektor pertembakauan hanya mengeruk keuntungan dari pajak dosa. Konkret terlihat dengan tiadanya jaminan perlindungan terhadap petani tembakau yang terdampak regulasi cukai.

Baca Juga:  Kenapa Kalau Tarif Cukai Naik Harga Rokok Naik Juga?

Mengabaikan dampak beruntun dari regulasi cukai yang berakibat pada bangkrutnya pabrikan rokok kecil. Artinya, gembar-gembor tentang bahaya zat adiktif yang dapat menimbulkan kecanduan dan bahayanya bagi masyarakat, itu semua hanya bualan demi keuntungan tertentu saja.

Dampak dari regulasi cukai yang terus menekan ini, tak terlalu berarti bagi pabrikan besar. Berbeda bagi golongan kecil. Untuk tetap bertahan produksi saja semakin sulit. Sementara konsumen sebagai penyumbang devisa, terus ditekan bahkan didiskriminasi melalui isu kesehatan. Diperah sepanjang tahun melalui pungutan cukai.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah